21 September 2014

ASAS-ASAS PERJANJIAN DALAM HUKUM ISLAM

ASAS-ASAS PERJANJIAN DALAM HUKUM ISLAM
Oleh Zainal Anwar


Abstrak
Salah satu prinsip dasar dalam bermuamalah dalam hukum islam adalah kebebasan dalam melakukan perjanjian. Dengan ini masyarakat muslim bebas untuk berkreasi, memodifikasi atau membuat bentuk perjanjian selama masih dalam koridor dasar hukum islam yang sah. Dengan pemikiran sosial secara terbuka, hukum Islam akan dapat menjawab pertanyaan permasalahan ekonomi , disamping itu juga bisa menjadi solusi permasalahan-permasalahan sosial tanpa melanggar prinsip-prinsip hukum Islam.

Kata Kunci: asas perjanjian, hukum perjanjian syariah, dan kebebasan berkontrak.


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Interaksi antar sesama manusia yang satu dengan yang lain merupakan suatu kegiatan manusia yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat dihindarinya yakni sebagai makhluk sosial. Karenanya adalah untuk menuju kehidupan yang sesuai dengan yang diinginkan, memenuhi kebutuhan dan keinginan.  Kebutuhan dan keinginan manusia yang berbeda-beda itu sering menimbulkan konflik, pertengkaran bahkan saling membunuh. Dari sinilah muncul yang namannya hukum. Diharapkan akan mengatarkan suatu kehidupan yang tenang, damai dan sejahtera. Walaupun berbeda dengan yang lain akan tetapi kalau ada hukum maka akan diikatkan dirinya dengan hukum tersebut, sehingga perbedaan tersebut akan menjadi keindahan, saling berjalan tanpa ada gangguan dan hambatan, itulah tujuan adanya hukum.
Kemudian ada lagi perjanjian, ini merupakan sesuatau yang menghubungkan, menggabungkan atau ikatan supaya dalam melakukan suatu tujuan tersebut berjalan dengan lancar, sesuai dengan yang diinginkan bersama. Apalagi kalau dihubungkan dengan syariah, maka akan lebih khusus lagi didasarkan pada haluan aturan agama islam, yaitu agama yang dibawa Nabi Muhammad dengan kitab suci Al Qur’an sebagai pedoman utamanya.
Perjanjian telah dikenal manusia sejak dulu kala. Namun pembahasan-pembahasan tentang sejarah perjanjian belum berhasil memberikan jawaban yang pasti tentang bagaimana timbulnya pemikiran tentang perjanjian dalam masyarakat dan apa sebab-sebab kelahirannya.
Ada yang berpendapat bahwa bentuk perjanjian yang mula-mula timbul dalam masyarakat adalah barter. Kemudian lahirlah perjanjian dengan menggunakan uang. Dengan lahirnya uang, seseorang dapat membeli barang yang diperlukan dengan mudah, tanpa harus menukarkan barang yang dimilikinya. [1]  

1.2. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian asas perjanjian menurut hukum Islam?
2.      Apa saja asas-asas perjanjian dalam hukum Islam?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   Pengertian Asas Perjanjian
2.1.1.      Pengertian Menurut bahasa
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi. Secara terminologi asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.[2] Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya.[3]
Sedangkan istilah “perjajian” dalam hukum indonesia adalah disebut “akad” dalam hukum islam. Kata al-aqd, yang berarti mengikat, seperti pada kata aqada al habla artinya mengikat tali. Al-aqd bisa berarti memperkuat dan mempererat seperti dalam kata aqada shilatan thayyibatan bi fulan yang artinya ia mempererat hubungan baik dengan sifulan. Disini mempererat berarti mengikat kuat.[4] Sedangksn dalam Ensiklopedi Islam al-aqd berarti simpulan, perikatan, perjanjian, dan permufakatan (intifaq) [5]

2.1.2.      Pengertian dalam istilah fiqh islam
Kata akad yang sudah dikenal dalam bahasa arab tersebut digunakan pula dalam al qur’an, yaitu firman Allah pada surat al maidah ayat 1yang artinya:“Hai orang-orang yang beriman laksanakanlah akad-akad kamu”.
Para ahli fiqih berpendapat akad dapat diartikan menjadi 2 (dua) pengertian yaitu pengertian secara umum dan pengertian secara khusus.
Secara umum mereka memandang bahwa setiap yang mengandung tekad seseorang melakukannya adalah akad, baik tekad itu dari satu pihak saja seperti wakaf, maupun harus ada sambutan dari pihak lain yang mempunyai kehendak sama seperti menjual suatu barang harus ada sambutan dari pembelinya.
Secara khusus pengertian akad yaitu pertalian ijab (yang diucapkan salah satu pihak yang mengadakan kontrak) dengan kabul (yang diucapkan pihak lain yang menimbulkan pengaruh pada obyek kontrak. [6]

2.2.        Asas-asas Perjanjian (Akad)
Dalam hukum kontrak syari’ah terdapat asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan dan pelaksanaannya. Adapun asas-asas perjanjian tersebut adalah:
2.2.1.      Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam QS.al-Hadid (57): 4  yang artinya ”Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Kegiatan mu’amalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal itu. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua,tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT. [7]

2.2.2.       Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya,”Pada asasnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”.[8] Kaidah fiqih tersebut bersumber pada dua hadis berikut ini:
Hadis riwayat al Bazar dan at-Thabrani yang artinya:
“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaaf-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatupun”.[9]
Hadis riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya:
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia,dan Allah telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia. [10]
Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa segala sesuatunya adalah boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
2.2.3.      Asas Keadilan (Al ‘Adalah)
Dalam QS. Al-Hadid (57): 25 disebutkan bahwa Allah berfirman yang artinya ”Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. Selain itu disebutkan pula dalam QS.Al A’raf (7): 29 yang artinya “Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”. Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.[11]
2.2.4.      Asas Persamaan Atau Kesetaraan
Hubungan mu’amalah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seringkali terjadi bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya. Oleh karena itu sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka antara manusia yang satu dengan yang lain, hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan.[12] Tidak diperbolehkan terdapat kezaliman yang dilakukan dalam kontrak tersebut. Sehingga tidak diperbolehkan membeda-bedakan manusia berdasar perbedaan warna kulit, agama, adat dan ras. Dalam QS.al-Hujurat (49): 13 disebutkan yang artinya ”Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”
2.2.5.      Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq)
Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak.[13] QS.al-Ahzab (33): 70 disebutkan yang artinya, ”Hai orang –orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. Suatu perjanjian dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat dilarang.

2.2.6.      Asas Tertulis (Al Kitabah)
Suatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan.[14] Dalam QS.al-Baqarah (2); 282- 283 dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya.[15]
2.2.7.      Asas Iktikad baik (Asas Kepercayaan)
Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi kontrak atau prestasi berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh serta kemauan baik dari para pihak agar tercapai tujuan perjanjian. Setiap akad wajib di laksanakan oleh para pihak sesuai dengankesepakatan yang di terapkan oleh yang bersangkutan dan pada sama terhindar dari cedera-janji. Dasar hukumnya dapat di baca dalam surat Al Baqarah [2]:283 yaitu 
            “akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya

2.2.8.      Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan
Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuannya dalam al Qur’an dan Al Hadis.[16] Asas kemanfaatan dan kemaslahatan ini sangat relevan dengan tujuan hukum Islam secara universal.

2.2.9.      Asas Konsensualisme atau Asas Kerelaan (mabda’ ar-rada’iyyah)
Dalam QS. An-Nisa (4): 29 yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing pihak tidak diperbolehkan ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak dipenuhi maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang batil.[17] Asas ini terdapat juga dalam hadis riwayat Ibn Hibban dan al-Baihaqi yang artinya: ”Sesungguhnya jual beli berdasarkan perizinan (rida)”.[18]
2.2.10.  Asas Kebebasan Berkontrak (mabda’ hurriyah at-ta’aqud)
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan tersebut mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolute. Sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman Djamil bahwa, ”Syari’ah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan syarat sahnya adalah ajaran agama.”[19] Dalam QS.al-Maidah (5): 1 disebutkan, yang artinya ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian”

2.2.11.  Asas Perjanjian Itu Mengikat
Asas ini berasal dari hadis Nabi Muhammad saw yang artinya: “Orang-orang muslim itu terikat kepada perjanjian-perjanjian (Klausul-klausul) mereka, kecuali perjanjian (klausul) yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.[20]
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa setiap orang yang melakukan perjanjian terikat kepada isi perjanjian yang telah disepakati bersama pihak lain dalam perjanjian. Sehingga seluruh isi perjanjian adalah sebagai peraturan yang wajib dilakukan oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.
2.2.12.  Asas Keseimbangan Prestasi
Yang dimaksudkan dengan asas ini adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.[21] Dalam hal ini dapat diberikan ilustrasi, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui harta debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
2.2.13.  Asas Kepastian Hukum (Asas Pacta Sunt Servanda)
Asas kepastian hukum ini disebut secara umum dalam kalimat terakhir QS. Bani Israil (17): 15 yang artinya, ”….dan tidaklah Kami menjatuhkan hukuman kecuali setelah Kami mengutus seorang Rasul untuk menjelaskan (aturan dan ancaman) hukuman itu….”. Selanjutnya di dalam QS.al-Maidah (5): 95 dapat dipahami Allah mengampuni apa yang terjadi di masa lalu. Dari kedua ayat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa asas kepastian hukum adalah tidak ada suatu perbuatanpun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan tersebut.[22]


BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari paparan-paparan terdahulu, sebagai penutup perlu dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
Dalam hukum kontrak syariah, paling tidak terdapat asas-asas perjanjian diatas yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir dan bertransaksi dalam penegakan hukum kontrak syariah tersebut. Asas-asas perjanjian itu adalah, Asas ilahiyah, Asas Kebolehan, Asas Keadilan, Asas Kesamaan, Asas Kejujuran, Asas Tertulis, Asas Iktikad baik, Asas Kemanfaatan, Asas Kerelaan, Asas kebebasan berkontrak, Asas Perjanjian mengikat, Asas keseimbangan prestasi, Asas kepastian hukum.
Salah satu asas dalam asas perjanjian ada yang dinamakan asas kebebasan berkontrak. Dengan asas kebebasan berkontrak tersebut kaum muslimin mempunyai kebebasan untuk membentuk akad-akad baru selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan tujuan hukum Islam. Dengan demikian fiqih mu’amalah dapat dikembangkan secara dinamis dalam rangka menjawab persoalan-persoalan baru ekonomi kontemporer.
Dalam merespon perkembangan bentuk-bentuk baru dalam bertransaksi sudah seharusnya ahli fiqih mu’amalah disamping menguasai prinsip-prinsip dan asas-asas umum hukum Islam itu sendiri, juga mengetahui praktek-praktek mu’amalah kontemporer yang banyak dikuasai oleh ahli ekonomi konvensional pada umumnya. Hal ini penting dilakukan karena, bagaimana mungkin penetapan hukum atas bentuk-bentuk mu’amalah kontemporer dalam hal ini perjanjian,menjadi akurat jika masalah mu’amalah kontemporer itu sendiri tidak dipahami.

3.2. Saran
Model kajian fiqih mu’amalah dewasa ini disamping model kajian konseptual teoritik, juga sudah saatnya dikombinasikan dengan model kajian empirik atas persoalan-persoalan ekonomi kontemporer, sehingga penguasaan kedua metodologi kajian fiqih mu’amalah sudah saatnya diimplementasikan.




DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud (2000). Asas-asas Hukum Islam,cet. Ke-5. Jakarta: CV. Rajawali.
Anwar, Syamsul (1992). “Asas Kebebasan Berkontrak dalam Sunnah Nabi”, dalam Jurnal Asy Syir’ah, No.3 tahun XV, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga.
Azra, Azzumardi dkk (1997)Ensiklopedi Islam 1, Van Hoeve,
azwar karim, Adiwarman dkk (2002).aplikasi konsep syariah untuk lembaga keuangan syariah buku 3 norma-norma akad,
Dewi, Gemala dkk (2006). Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Djamil,Faturrahman, ”Hukum Perjanjian Syari’ah” dalam Mariam Darus Badrulzaman (2001). Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti
Departemen Pendidikan Nasional (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3. (Jakarta: Balai Pustaka),
Mukharrom, Tamyiz, M (2003). ”Kontrak Kerja Antara Kesepakatan dan Tuntutan Pengembangan SDM” dalam Jurnal Hukum Islam Al Mawarid Edisi X tahun 2003. Yogyakarta: Program Studi Syari’ah FIAI UII.
Salim, H. S. (2006). Hukum Kontrak: Teori dan Penyusunan Kontrak, cet.ke-4. Jakarta: Sinar Grafika.
Syakir Aula, Muhammad (2004). Asuransi Syari’ah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1. (Jakarta: Gema Insani Press),
Musbikin, Imam (2001). Qawa’id Al-Fiqhiyah, cet. 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada).






[1]aplikasi konsep syariah untuk lembaga keuangan syariah buku 3 norma-norma akad 2002, h. 55
[2]Departemen Pendidikan Nasional (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3. (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 70.
[3]Ibid. hlm. 896.
[4].  aplikasi konsep syariah untuk lembaga keuangan syariah buku 3 norma-norma akad 2002 hal. 55.
[5]Ensiklopedi Islam 1, Van Hoeve 1997, hal 95.
[6]. aplikasi konsep syariah untuk lembaga keuangan syariah buku 3 , op.cit.hal. 57
[7].  Muhammad Syakir Aula (2004). Asuransi Syari’ah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1. (Jakarta: Gema Insani Press), hlm. 723-727,
[8].  Imam Musbikin (2001). Qawa’id Al-Fiqhiyah, cet. 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada), lihat Syamsul Anwar (2006). Kontrak dalam Islam ..., hlm. 12.
[9].  Ibid.
[10]. Ibid, hlm. 59.
[11]. Gemala Dewi (2006). Hukum Perikatan ..., hlm. 33,
[12]. Ibid, hlm. 32-33
[13]. Ibid,
[14]. Gemala Dewi (2006). Hukum Perikatan ..., hlm. 37-38
[15]. Ibid,
[16]. M.Tamyiz Muharrom (2003), “Kontrak Kerja: Antara Kesepakatan dan Tuntutan Pengembangan SDM”, dalam Al Mawarid Jurnal Hukum Islam, Edisi X tahun 2003, (Yogyakarta: Program Studi Syari’ah FIAI UII).
[17]. Faturrahman Djamil. “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Mariam Darus Badzrulzaman et. al. (2001) Kompilasi Hukum Perikatan, cet. 1. (Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm. 250,
[18]. Ibid,
[19]. Faturrahman Djamil. “Hukum Perjanjian Syari’ah”..., hlm. 249, lihat juga Gemala Dewi (2006). Hukum Perikatan Islam di Indonesia ..., hlm. 31, Syamsul Anwar (2006). Kontrak Dalam Islam ..., hlm. 12.
[20]. Hadis riwayat Bukhari, Tirmizi dan al-Hakim.
[21]. Salim H. S (2006), Hukum Kontrak ..., hlm. 13-14, lihat juga Syamsul Anwar (2006). Kontrak dalam Islam ..., hlm. 12.
[22]. Mohammad Daud Ali (1990). Asas-asas Hukum Islam ..., hlm. 115.

Tidak ada komentar: