PENDEKATAN
STUDI ISLAM PENDEKATAN
TEOLOGI
Oleh: Zainal
Anwar
Abstrak
Salah satu pendekatan dalam studi Islam adalah
pendekatan teologis, atau bisa disebut ilmu kalam, yaitu ilmu yang membicarakan
tentang tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, dimana dari zaman ke zaman mengalami perkembangan,
dimulai sejak zaman nabi Muhammad saw, khulafa’urrasyidin hingga pasca
khulafa’urrasyidin. Setiap zaman mempunyai permasalahan yang berbeda. Pendekatan
tersebut mempunyai beberapa karakteristik dasar dan diaplikasikan sesuai
zamannya.
Kata
kunci: pendekatan teologis, historis, karakteristik dasar pendekatan teolosgi
dan aplikasi pendekatan teologis.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Agama sering
dipahami sebagai sumber gambaran-gambaran yang sesunguhnya tentang dunia ini,
sebab ia diyakini berasal dari wahyu yang diturunkan oleh untuk semua manusia.
namun, dewasa ini, agama kerap kali dikritik karena tidak dapat mengakomidir
segala kebutuhan manusia, bahkan agama dianggap sebagai sesuatu yang
“menakutkan”, karena berangkat dari sanalah tumbuh berbagai macam konflik,
pertentangan yang terus meminta korban.
Kemudian sebagai tanggapan atas kritik itu, orang mulai mempertanyakan kembali
dan mencari hubungan yang paling otentik antara agama dengan masalah-masalah kehidupan sosial budaya kemasyarakatan yang
berlaku dewasa ini. Apa yang menjadi kritik terhadap agama adalah bahwa agama,
tepatnya pemikiran-pemikiran keagamaannya terlalu menitik beratkan pada
struktur-struktur logis argument tekstual (normative). Ini berarti mengabaikan
segala sesuatu yang membuat agama dihayati secara semestinya. Struktur logis
tidak pernah berhubungan dengan tema-tema yang menyangkut tradisi, kehidupan
sosial dan kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat.
Agama Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad
Saw, diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir
dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya
manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti
yang seluas-luasnya. Seiring perubahan waktu dan perkembangan zaman , agama
semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai
masalah yang dihadapi manusia. agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang
kesalehan atau berhenti sekedar di sampaikan dalam khotbah, melainkan secara
konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan
masalah.
Melihat
kenyataan semacam ini, maka diperlukan rekonstruksi pemikiran keagamaan,
khususnya berkaitan dengan pendekatan teologis.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pendekatan
teologis?
2. Bagaimana perkembangan pendekatan
teologi Islam dari zaman ke zaman?
3. Apa saja karakteristik pendekatan
teologis?
4. Bagaimana aplikasi pendekatan
teologis?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pendekatan Teologis.
2.1.1.
Pengertian pendekatan
Secara
etimologi pendekatan adalah derivasi kata dekat, artinya tidak jauh, setelah
mendapat awalan pe dan akhiran an maka artinya (a) proses,
perbuatan, cara mendekati (b) usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk
mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti atau metode-metode untuk
mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Pendekatan dari sudut
terminologi adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam
suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dari
keterangan di atas, dapat kita pahami bahwa pendekatan terhadap objek
pengkajian perlu dimasyarakatkan guna mendapatkan keterangan ilmiah seiring
dengan tuntunan zaman [1]
2.1.2. Pengertian Teologi
Istilah teologi lahir dalam
tradisi Kristen. Secara harfiyah, teologi berasal dari bahasa Yunani, theos
dan logos yang berarti ilmu ketuhanan. Istilah teologi dalam bahasa
Yunani tersebut, dalam tradisi Islam dikenal dengan ilmu kalam yang
berarti perkataan-perkataan manusia tentang Allah.Tetapi pengertian ini menurut
Steenbrink (1987:10) dianggap kurang cocok karena teologi memang tidak
bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan, baik wujud, sifat, dan
perbuatan-Nya, yang dalam khasanah islam disebut ilmu kalam. Teologi tidak
identic dengan ilmu kalam atau ilmu luhut yang oleh Al-Ahwani diartikan sebagai
rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh
kebenaran akidah agama Islam (Al-Ahwani, 1995:17).A. Hanafi mengartikan ilmu
kalam sebagai upaya mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari
serangan-serangan pihak luar
dengan menggunakan pendekatan filsafat atau dalili-dalil aqli.
Dalam Encyclopaedia of Religion,
dikatakan bahwa teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tuhan dan
hubungan-Nya dengan alam semesta, namun sering kali diperluas mencakup seluruh
bidang agama.Dengan demikian, teologi memiliki pengertian luas dan identic dengan
ilmu agama itu sendiri.Dalam diskursus ilmiah, istilah teologi biasanya
memiliki arti yang khusus.Teologi, kata Pidekso, sebagai upaya seluruh orang
beriman dalam menangkap, memahami serta memberlakukan kehendaktuhan melalui
konteksnya (Ambednego, 1994:15).Teologi adalah refleksi orang yang beriman
tentang bagaimana bentuk atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Kata
Anselmus, teologi adalah fides quaren intellectum, iman yang mencari pengertian
(Amin, 1988: ix).
Teologi juga dapat dilihat dari tiga segi: teologi actual yaitu berteologi
yang melahirkan keprihatinan iman dalam wujud tingkah laku sehari-hari; teologi
intelektual, yaitu teologi yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid
yang hanya dipahami oleh para alim dibidang ini dan teologi
spiritual yang melahirkan perilaku mistik. [2]
2.2.
Perkembangan
Historis Pendekatan Teologi
Menurut
Harun Nasution, persoalan yang pertama-tama muncul sehingga lahir perdebatan
dalam bidang kalam atau teologi adalah persoalan politik. Tetapi persoalan
politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Agar persoalan ini
menjadi jelas, berikut akan diuraikan sejarah perkembangan kemunculan kalam
atau teologi dalam islam
yang
dibagi menjadi tiga zaman yaitu zaman
Nabi Muhammad saw, zaman Khulafa’urrasyidin dan zaman Pasca Khulafaurrasyidin.
2.2.1.
Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Nabi
Muhammad saw
Teologi
atau ilmu kalam sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada
zaman Nabi Muhammad maupun pada zaman sahabatnya. Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah ilmu-ilmu
keislaman satu persatu muncul dan setelah orang banyak membicarakan
masalah-masalah alam gaib atau metefisika. [3]
Sahabat-sahabat
Nabi waktu itu berkumpul dihadapan Nabi untuk mendengarkan wahyu ilahi yang
turun sewaktu-waktu. Ada diantara mereka yang menulis wahyu dan ada yang hanya
menghapal di luar kepala.[4] apabila terdapat suatu
kesulitan atau sesuatu yang tidak dapat dipahami, maka mereka dapat
menanyakannya secara langsung kepada Rasul.[5] Apabila mereka mendengarkan
atau mambaca ayat yang menerangkan tentang sifat Tuhan, maka mereka lantas
yakin seyakin-yakinnya. Dengan demikian, tiadalah sesuatu yang diragukan atau
dipersilisihkan. Nabi dapat menyelesaikan persoalan dengan sebaik-baiknya dan
juga mudah dimengerti oleh sahabat.
“Dan
Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Q.S.
al- Baqarah: 163)
Para
sahabat Nabi karena mereka orang Arab, sedang al- Qur’an diturunkan dalam
Bahasa Arab pula, mereka dapat menangkap isi dan arti yang hakiki dari
ayat-ayat al- Qur’an itu, sehingga mereka yakin bahwa Allah itu Esa, sifatnya
pengasih dan penyayang, mereka tidak tanya-tanya lagi. Demikian cara Nabi
menyampaikan ajaran ketauhidan-Nya kepada para sahabat.[6]
Persoalan
politik sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian awal yang kelak meningkat
menjadi persoalan teologi belum terjadi pada masa ini. Meskipun pada masa ini
islam telah bersinggungan dengan politik. Hal ini dapat kita lihat dalam
sejarah penyebaran islam di Hijaz, baik pada periode Mekah maupun pada periode Madinah.
Ketika
di Mekah Nabi Muhammad saw. Hanya mempunyai fungsi sebagai kepala agama dan
tidak mempunyai fungsi kepala pemerintahan, karena kekuasaan politik yang ada
di sana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Kekuasaan politik di kota ini
terletak dalam tangan pedagang tinggi. Sebaliknya di Madinah, Nabi Muhammad
saw. Menjadi kepala agama sekaligus kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan
kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini. Sebelum itu tidak ada kekuasaan
politik di kota ini. [7]
2.2.2. Perkembangan
Teologi Islam Pada Zaman khulafāurrāsyidin
Ketika
Nabi Muhammad saw. Wafat pada tanggal 12 Rabiul awwal tahun 11 H/632 M daerah
kekuasaan Madinah tidak hanya terletak pada kota itu saja, tetapi boleh
dikatakan meliputi seluruh semenanjung Arabia. Negara Islam di waktu itu,
seperti digambarkan oleh W. M. Watt, telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa
Arab, yang telah mengikat tali persekutuan dengan Nabi Muhammad dalam berbagai
bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga masyarakat Mekah sebagai
intinya.[8]
Jadi
tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad
sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai nagara yang baru lahir itu,
sehingga penguburan Nabi merupakan persoalan kedua bagi mereka. Timbullah soal khilāfah, soal pengganti Nabi Muhammad
sebagai kepala Negara. Sebagai Nabi atau Rasul, tentu tidak dapat digantikan.[9]
Kendatipun
Rasul saw. Tidak menunjuk seorang khalifah (pengganti) beliau namun tokoh-tokoh
dalam masyarakat muslim mengetahui benar-benar bahwa islam menuntut adanya
kekhalifaan yang didasarkan atas musyawarah. Tidak satu keluarga pun memonopoli
pemerintahan, tidak seorang pun merampas kekuasaan dengan kekuatan atau
paksaan, dan tidak seorang pun yang memuji dirinya atau memaksakan dirinya
untuk mencapai kedudukan khalifah. Rakyat pada saat itu dengan sukarela telah
memilih empat sahabat Nabi untuk diangkat sebagai khalifah.[10]
Sejarah
meriwayatkan bahwa perdebatan yang lumayan sengit terjadi antara kaum Anshar
dan Muhajirin dalam hal siapa yang berhak menjadi khalifah, akhirnya mereka
sepakat mengangkat Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai kepala Negara atau khalifah
yang pertama. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar Bin Khattab.
Pada
masa pemerintahan khalifah Abu Bakar kondisi politik relatif stabil. Politik
yang kelak menjadi persoalan teologi pada masa ini belum terjadi. Hal ini
dikarenakan pada masa ini umat muslimin sibuk berperang melawan kaum muslimin
yang murtad dengan mengikuti ajaran Musailamah alKazzab yang mengaku sebagai Nabi
dan berperang melawan orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat pada waktu
itu. Sedangkan pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab, umat islam sibuk
melakukan ekspansi ke berbagai negeri, sehingga mereka tidak sempat
memperdebatkan masalah-masalah teologi. Ekspansi yang dilakukan umat islam pada
waktu itu seperti ke Persia, Syam, syiria, Palestina, Mesir, dan turki.
Setelah
Umar wafat akibat ditikam ketika memimpin salat, dia digantikan oleh Usman Bin
Affan sebagai khalifah. Usman termasuk golongan pedagang Quraisy yang kaya.
Kaum keluarganya terdiri dari orang aristokrat Mekah yang karena pengalaman
dagang mereka, mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka
ini bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia
yang bertambah banyak masuk dalam kekuasaan Islam. Ahli sejarah menggambarkan
Usman sebagai orang yang lemah dan tidak sanggup menentang ambisi keluarganya
yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur-gubernur
di daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat
oleh Umar Bin Khattab, khalifah yang terkenal sebagai khalifah yang kuat dan
tidak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman.[11]
Tindakan
politik yang dijalankan oleh Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak
menguntungkan baginya. Sahabat-sahaba Nabi yang pada mulanya menyokong Usman,
ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang
ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau ingin calonnya
menjadi khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu.
Perasaan tidak senang muncul di daerah-daerah. Dari Mesir, sebagai reaksi dijatuhkannya Amr Bin Ash yang digantikan oleh
Abdullah Bin Sa’ad Bin Abi Sahr, salah satu anggota keluarga Usman, sebagai
gubernur Mesir, lima ratus pemberontak berkumpul dan kemudian bergarak menuju
Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada pembunuhan
Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir itu.[12]
Setelah
Usman wafat, Ali menggantikannya menjadi khalifah. Tetapi segera pula ia
mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah.
Terutama Talha dan Zubair dari Mekah yang mendapat sokongan dari Aisyah ra.
Tantangan dari Aisyah ini berhasil dipatahkan oleh Ali pada perang Jamal yang
terjadi di Irak pada tahun 656 M. Talha dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah
dikembalikan ke Mekah.
Selanjutnya
akibat persoalan politik yang menyangkut pembunuhan Usman Bin Affan, berbuntut
pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifaan Ali Bin Abi Thalib. Mu’awiyah sendiri
adalah gubernur Damaskus dan merupakan keuarga terdekat Usman. Mu’awiyah
menuduh Ali sebagai salah satu orang yang turut ikut campur dalam pembunuhan
Usman. Ketegangan antara keduanya mengkristal menjadi perang Shiffin yang
berakhir dengan keputusan tahkīm (arbitrase).[13]
Pada
peperangan tersebut pasukan Mu’awiyah berhasil dipukul mundur. Tetapi dengan
kelicikan salah satu tangan kanan Mu’awiyah yaitu Amr Bin Ash, meminta berdamai
dengan mengankat al- Qur’an ke atas. Ali pun menerima ajakan perdamaian itu
atas desakan para Qurra yang ada dipihaknya. Maka dicarilah jalan perdamaian dengan
arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr Bin Ash dari pihak
Mu’awiyah dan Abu Musa alAsy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka,
kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan antara
keduanya terdapat permufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang
bertentangan, Ali dan Mu’awiyah. Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa sebagai
yang tertua yang terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan untuk
menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan tersebut. Berlainan dengan apa yang
telah disetujui, Amr Bin Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang
telah diumumkan oleh Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah.[14]
Bagaimanapun
peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Ali tetap
menjadi khalifah yang legal, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari
gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan
adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi.
Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak oleh Ali dan tidak mau meletakkan
jabatannya, sampai ia mati terbunuh pada tahun 661 M.[15]
Sikap
Ali yang menerima ajakan tersebut, sungguhpun berada dalam keadaan terpaksa,
tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan
yang terjadi pada saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang
dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum
yang ada dalam al- Qur’an. Menurut mereka la hukma illa lillāh (tidak hukum selain hukum
Allah) atau la hakama illa allāh (tidak ada pengantara selain Allah) menjadi semboyan mereka.
Mereka memandang Ali telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan
barisannya. Dalam sejarah Islam mereka terkenal dengan nama Khawarij, yaitu
orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders.[16] Di luar pasukan Ali yang membelot ada pula sebagian besar
yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kelak disebut Syiah.
Akhirnya,
setelah terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib pada peristiwa ini, maka berakhir pula
masa pemerintahan khulafāurrāsyidin.
2.2.3. Perkembangan
Teologi Islam Pada Zaman Pasca Khulafāurrāsyidīn
Setelah
berakhirnya masa pemerintahan khulafāurrāsyidin, perpecahan dikalangan umat Islam semakin meruncing.
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagaimana yang telah
dibahas pada pembahasan sebelumnya akhirnya membawa pada timbulnya
persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa
yang bukan kafir dalam arti siapa yang masih ada dalam Islam dan siapa yang
telah keluar dari Islam.
Khawarij
memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, Amr Bin Ash, dan Abu Musa al Asyari dan
lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir. Hal ini menurut mereka sesuai
dengan firman Allah sebagai barikut:
“barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.”(Q.S. al- Maidah: 44)
Ayat
inilah yang mereka jadikan semboyan. Karena empat pemuka Islam di atas telah
dipandang kafir dalam arti telah keluar dari Islam, yaitu murtad atau apostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum
Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut
sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali Bin Abi Thalib yang berhasil
dalam tugasnya.[17]
Lambat
laun kaum Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula
mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak
menentukan hukum berdasarkan al- Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar,
yaitu murtakib al-kabairatau capital sinners, juga dipandang kafir.
Persoalan berbuat dosa besar inilah kemudian mempunyai pengaruh besar dalam
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya teologi dalam Islam. Persoalannya
ialah masikah bisa dipandang mukmin atau sudah menjadi kafir karena berbuat
dosa besar itu ?[18]
Persoalan
ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran Khawarij yang
mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar adalah kafir. Dinyatakan keluar
dari Islam atau tegasnya murtad dan oleh karena itu wajib dibunuh. Ada juga
diantara kaum khawarij yang bersifat netral. Mereka memberi dukungan kepada Ali
dalam peperangan, bukan kepada lawan-lawannya.[19]
Selanjutnya
aliran Syiah yang fanatik kepada Ali dan keturunannya. Mereka berpendapat bahwa
tidak seorang pun yang berhak memegang kekhalifaan kecuali keturunan Ali. Kalau
ada yang mengakui khalifah bukan dari keturunan Ali, berarti merampas hak
kekuasaan. Kekhalifaannya tidak sah. Tetapi akhirnya partai ini dimasuki pula
anasir-anasir yang bukan-bukan, yang menyimpang dari pokok agama.[20]
Syiah
berkeyakinan bahwa khilāfah dan imamah ditetapkan berdasarkan atas pencalonan dan penunjukan, baik
tertutup maupun terbuka. Mereka juga mempertahankan bahwa imāmah itu harus tetap berada pada
keluarga Ali; jika imāmah itu pernah berada di luar keluarga Ali, hal itu disebabkan sebuah
kekeliruan pada pihak lain atau karena taqiyyah dipihak imam yang benar. Menurut mereka, imāmah bukanlah masalah sipil yang
secara sah diselesaikan dengan kehendak rakyat lewat penunjukan seorang imam
berdasarkan atas pilihan mereka sendiri. Imāmah adalah masalah fundamental dan merupakan sebuah elemen dasar dari
suatu agama. Para utusan Allah tidak boleh mengabaikan atau tidak memperdulikan,
apalagi menyerahkannya pada pilihan rakyat kebanyakan.[21]
Selanjutnya
aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih
mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang diperbuatnya, terserah kepada
Allah swt. Untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Mereka memandang
perbuatan-perbuatan itu bersifat sekunder daripada niat dan ketetapan hati.[22]
Selanjutnya
aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka
orang yang berbuat dosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara
posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya terkenal dengan istilah al manzila baina al manzilatain (posisi di antara dua posisi).[23]
Mu’tazilah
sendiri adalah aliran yang bercorak rasional dan cenderung liberal. Pemikiran
mereka ini tidak lain karena dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani klasik yang
sangat mengagungkan akal pikiran. Hal ini didapatkan dari penerjemahan
buku-buku Yunani ke dalam Bahasa Arab. Bahkan aliran ini pernah menjadi mazhab
resmi Negara, yaitu pada masa pemerintahan khalifah al Ma’mun (813-833 M).
Namun, pada masa pemerintahan khalifah al Mutawakkil di tahun 856 M, mazhab
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dibatalkan. Dengan demikian kaum Mu’tazilah
kembali pada kedudukan mereka semula. Tetapi kini mereka telah mempunyai lawan
yang tidak sedikit dari kalangan umat Islam.[24]
Dalam
pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran yang terkenal dalam teologi dengan
nama Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan
dalam kehendak dan perbuatannya. Jabariyah sebaliknya berpendapat bahwa manusia
tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam
segala tingkah lakunya, menurut paham Jabariyah bertindak atas paksaan dari
Tuhan. Segala gerak geriknya ditentukan oleh TuhanDalam pada itu timbul pula
dalam Islam dua aliran yang terkenal dalam teologi dengan nama Qadariyah dan
Jabariyah. Menurut Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya. Jabariyah sebaliknya berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah
lakunya, menurut paham Jabariyah bertindak atas paksaan dari Tuhan. Segala
gerak geriknya ditentukan oleh Tuhan.
Kemudian
bentuk aliran teologi tradisionil yang disusun oleh Abu Hasan al Asy’ari (935
M). al Asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang mu’tazilah, kemudian beliau
keluar lalu mendirikan aliran baru yang terkenal dengan nama Asy’ariyah. Di
samping aliran Asy’ariyah timbul pula aliran di Smarkand yang didirikan oleh
Abu Mansur al Maturidi (w. 944 M). kemudian aliran ini terkenal dengan nama
Maturidiyah. Kedua aliran tradisionil ini sama-sama menentang ajaran yang
dipahami oleh aliran Mu’tazilah. Selain keduanya ada pula aliran tradisionil
yang juga menentang paham Mu’tazilah. Mereka adalah pengikut-pengikut mazhab
Hambali dan pengikut-pengikut dari Abu Hanifah yang dibawa oleh al Tahawi (w.
933) dari Mesir. Tetapi ajaran al Tahawi tidak menjelma menjadi ajaran teologi
dalam Islam.
Menurut
A. Hanafi M.A., perselisihan-perselisihan dalam soal dosa besar (pembunuhan)
sudak bercorak agama, yang sebelumnya masih bercorak politik dan kemudian
menjadi pembicaraan penting dalam teologi Islam. Sebagaimana soal khilafat dan imamah sebenarnya lebih
tepat dimasukkan dalam ilmu fiqh, karena bertalian dengan hukum amalan lahir,
bukan dalam bidang kepercayaan.[25]
Dengan
demikian, aliran-alian teologi penting yang timbul dalam Islam adalah aliran
Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. aliran Khawarij,
Murjiah, dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang
masih ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang keduanya
disebut Ahl Sunnah wa al Jama’ah . aliran Maturidiyah banyak
dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariyah pada
umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali paham
rasionalisme ke dunia Islam, yang kalau dahulu masuknya melalui kebudayaan Yunani
klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran
Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali dikalangan intelegensia Islam
yang mendapatkan pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam
tulisan-tulisan mengenai Islam.[26]
2.3. Karakteristik Dasar Pendekatan Teologis
a. Truth Claim (klaim kebenaran) hanya ada
pada ajarannya. Hal ini memiliki korelasi dengan logika Aristoteles yang bersifat clear-cut,
hitam-putih dan salah-benar, hanya berbicara tentang dirinya sendiri dan
tentang kebenarannya sendiri.
b. Partikularistik, artinya
mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentinngan umum. Mementingkan daerha
atau sukunya masing-masing (sukuisme).
c. Teosentris, menurut Amin Abdullah
masih didominasi oleh pemikiran yang bersifat transcendental-spekulatif yang
kurang menyinggung masalah-masalahinsaniyat (humaniora) yang
meliputi kehidupan social, politik dan lain sebagainya.
d. Formalistik, menekankan bentuk forma
atau symbol-symbol keagamaan yang masing-masing mengklaim dirinya yang paling
benar, sedangkan yang lainnya salah.
e. Intoleran, tidak menghargai
pandangan atau kepercayaan orang lain yang berbeda atau yang bertentangan
dengan dirinya.
f. Deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini
benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti
benar sehingga tidak perlu diperytanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai
daari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi
2.4. Aplikasi Pendekatan Teologis dalam Studi Islam
Pendekatan
teologis dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog
yang saling menyalahkan dan mengkafirkan, yang ada pada akhirnya terjadi
pembagian-pembagian umat, tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya
kepedulian sosial. Melalui pendekatan teologis ini agama dapat menjadi buta
terhadap masalah-masalah sosial cenderung menjadi lambang atau identitas yang
tidak memiliki makna. Pendekatan teologis juga erat kaitannya dengan ajaran
pokok dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penularan pemikiran manusia.
Dalam pendekatan teologis agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari
Tuhan, tidak ada keraguan sedikitpun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan
ini, agama tampil prima dengan seperangkat ciri yang khas.
Pendekatan
teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara
berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya,
karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu
dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang
selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis
tersebut menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain bersifat ekslusif,
dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain. Sedangkan kelebihannya
melalui pendekatan teologis normatif ini seseorang akan memiliki sikap
militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya
sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. Dengan
pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama
yang dianutnya.
Pendekatan
teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu
pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari
Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam
pendekatan teologis ini agama dilihat dari suatu kebenaran mutlak dari Tuhan,
tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini
agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama
Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur.
Untuk bidang sosial agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan,
kebersamaan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya.
Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki
ilmu pengetahuan dan teknologi setinggi-tingginya, menguasai keterampilan,
keahlian dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan.
1. Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tuhan dan hubungan-Nya dengan
alam semesta, namun sering kali diperluas mencakup seluruh bidang agama.
2. Teologi
dalam islam
yang
dibagi menjadi tiga zaman yaitu zaman Nabi Muhammad saw, zaman
Khulafa’urrasyidin dan zaman Pasca Khulafaurrasyidin.
3. Zaman Nabi muhammad saw hampir tidak
ada perselisihan karena semua permasalahan agama ditanyakan langsung kepada
nabi, baru setelah masa khulafa’urrasyidin mulai ada perselisihan hingga masa
pasca khulafa’urrasyidin.
3.2.Saran
Demikian
makalah tentang Pendekatan Teologi dalam Studi Islam yang sudah kami
paparkan. Kami menyadari makalah kami jauh dari sempurna maka dari itu kritik
yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan, untuk perbaikan makalah ini.
Harapan dari pemakalah, semoga maklah ini dapat memberi pengetahuan baru dan
bermanfaat bagi kita semua. Amin
Daftar Pustaka
Al Syahrastani, al- Milal wa al-
Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Cet. I;
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 225.
al-Hafizh, Mushlihin.”Definisi
Pendekatan”.
http://www.referensimakalah.com/2012/01/definisi-pendekatan_7827.html.
Di Akses,
18 September 2014.
Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet.
II; Jakarta: P. T. JAYAMURNI, 1974).
Suprayogo Imam dan TobroniMetodologi Penelitian
Sosial-Agama(Bandung : PT.
Remaja
Rosdakarya, 2003)
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihon, Ilmu
Kalam (Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
2001).
Siswanto, Deding , ILMU KALAM (Bandung:
CV. ARMICO, 1990),
Nasution,Harun , TEOLOGI
ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. V;
Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS
INDONESIA, 1986).
[1]. Mushlihin
al-Hafizh.”Definisi Pendekatan”. http://www.referensimakalah.com/2012/01/definisi-pendekatan_7827.html. Di Akses, 18
September 2014.
[2]. Imam Suprayogo
dan TobroniMetodologi Penelitian Sosial-Agama(Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 2003)h.57-58.
[3].. Deding Siswanto, ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990), h. 31. Lihat Juga A.Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II; Jakarta: P. T. JAYAMURNI, 1974),
h. 18.
[4].. Deding Siswanto, ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990), h. 31. Lihat Juga A.Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II; Jakarta: P. T. JAYAMURNI, 1974),
h. 18.
[7].. Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta:
PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA, 1986), h. 3.
[11].. Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA,
1986), h. 4.
[13].. Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2001), h. 27-28. Lihat juga Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA,
1986), h. 4-5.
[14].. Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA,
1986), h. 5. Lihat juga Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam(Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 182.
[16].. Abdul
Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), h. 28. Lihat juga Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta:
PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA,
1986), h. 6.
[17].. Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA,
1986), h. 7.
[20].. Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran
Teologi Dalam Islam (Cet. I; Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2004), h. 211.
[21].. Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl:
Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Cet. I; Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2004), h. 225.
[22].. Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta:
PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA, 1986), h. 7. Lihat juga Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam(Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 215.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar