ASAS-ASAS PERJANJIAN DALAM HUKUM ISLAM
Oleh Zainal Anwar
Abstrak
Salah satu prinsip dasar dalam bermuamalah dalam hukum islam adalah
kebebasan dalam melakukan perjanjian. Dengan ini masyarakat muslim bebas untuk
berkreasi, memodifikasi atau membuat bentuk perjanjian selama masih dalam
koridor dasar hukum islam yang sah. Dengan pemikiran sosial secara terbuka,
hukum Islam akan dapat menjawab pertanyaan permasalahan ekonomi , disamping itu
juga bisa menjadi solusi permasalahan-permasalahan sosial tanpa melanggar
prinsip-prinsip hukum Islam.
Kata Kunci: asas perjanjian, hukum perjanjian syariah, dan kebebasan berkontrak.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Interaksi antar sesama manusia yang satu dengan yang
lain merupakan suatu kegiatan manusia yang tidak dapat dipisahkan dan tidak
dapat dihindarinya yakni sebagai makhluk sosial. Karenanya adalah untuk menuju
kehidupan yang sesuai dengan yang diinginkan, memenuhi kebutuhan dan
keinginan. Kebutuhan dan keinginan manusia yang berbeda-beda itu
sering menimbulkan konflik, pertengkaran bahkan saling membunuh. Dari sinilah
muncul yang namannya hukum. Diharapkan akan mengatarkan suatu kehidupan yang
tenang, damai dan sejahtera. Walaupun berbeda dengan yang lain akan tetapi
kalau ada hukum maka akan diikatkan dirinya dengan hukum tersebut, sehingga
perbedaan tersebut akan menjadi keindahan, saling berjalan tanpa ada gangguan
dan hambatan, itulah tujuan adanya hukum.
Kemudian ada lagi perjanjian, ini merupakan sesuatau
yang menghubungkan, menggabungkan atau ikatan supaya dalam melakukan suatu
tujuan tersebut berjalan dengan lancar, sesuai dengan yang diinginkan bersama.
Apalagi kalau dihubungkan dengan syariah, maka akan lebih khusus lagi
didasarkan pada haluan aturan agama islam, yaitu agama yang dibawa Nabi
Muhammad dengan kitab suci Al Qur’an sebagai pedoman utamanya.
Perjanjian telah dikenal manusia sejak dulu kala.
Namun pembahasan-pembahasan tentang sejarah perjanjian belum berhasil
memberikan jawaban yang pasti tentang bagaimana timbulnya pemikiran tentang
perjanjian dalam masyarakat dan apa sebab-sebab kelahirannya.
Ada yang berpendapat bahwa bentuk perjanjian yang
mula-mula timbul dalam masyarakat adalah barter. Kemudian lahirlah perjanjian
dengan menggunakan uang. Dengan lahirnya uang, seseorang dapat membeli barang
yang diperlukan dengan mudah, tanpa harus menukarkan barang yang dimilikinya. [1]
1.2. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian asas perjanjian menurut hukum Islam?
2.
Apa saja asas-asas perjanjian dalam hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Asas Perjanjian
2.1.1. Pengertian Menurut bahasa
Asas berasal dari bahasa
Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi. Secara terminologi
asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.[2] Istilah
lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip yaitu dasar atau
kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya.[3]
Sedangkan istilah “perjajian” dalam hukum indonesia
adalah disebut “akad” dalam hukum islam. Kata al-aqd, yang berarti mengikat, seperti pada kata aqada al habla artinya mengikat tali. Al-aqd bisa berarti memperkuat dan
mempererat seperti dalam kata aqada
shilatan thayyibatan bi fulan yang artinya ia mempererat hubungan baik
dengan sifulan. Disini mempererat berarti mengikat kuat.[4] Sedangksn
dalam Ensiklopedi Islam al-aqd
berarti simpulan, perikatan, perjanjian, dan permufakatan (intifaq) [5]
2.1.2. Pengertian dalam istilah fiqh islam
Kata akad yang sudah dikenal dalam bahasa arab
tersebut digunakan pula dalam al qur’an, yaitu firman Allah pada surat al maidah ayat 1yang artinya:“Hai orang-orang yang beriman laksanakanlah
akad-akad kamu”.
Para ahli fiqih berpendapat akad dapat diartikan
menjadi 2 (dua) pengertian yaitu pengertian secara umum dan pengertian secara
khusus.
Secara umum mereka memandang bahwa setiap yang
mengandung tekad seseorang melakukannya adalah akad, baik tekad itu dari satu
pihak saja seperti wakaf, maupun harus ada sambutan dari pihak lain yang
mempunyai kehendak sama seperti menjual suatu barang harus ada sambutan dari
pembelinya.
Secara khusus pengertian akad yaitu pertalian ijab
(yang diucapkan salah satu pihak yang mengadakan kontrak) dengan kabul (yang
diucapkan pihak lain yang menimbulkan pengaruh pada obyek kontrak. [6]
2.2.
Asas-asas
Perjanjian (Akad)
Dalam hukum kontrak syari’ah terdapat asas-asas perjanjian yang
melandasi penegakan dan pelaksanaannya. Adapun asas-asas perjanjian tersebut adalah:
2.2.1. Asas Ilahiah atau
Asas Tauhid
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari
ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam QS.al-Hadid (57): 4 yang artinya ”Dia bersama kamu di mana saja
kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Kegiatan
mu’amalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari
nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan
hal itu. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak
kedua,tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT.
Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya
karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT. [7]
2.2.2.
Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya,”Pada asasnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang
melarang”.[8] Kaidah fiqih tersebut bersumber pada dua
hadis berikut ini:
Hadis
riwayat al Bazar dan at-Thabrani yang artinya:
“Apa-apa yang dihalalkan
Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa
yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaaf-Nya. Sungguh
Allah itu tidak melupakan sesuatupun”.[9]
Hadis
riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya:
Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia dan
Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan
Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia,dan
Allah telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia. [10]
Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa segala sesuatunya adalah
boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar
hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas
kepada yang berkepentingan
untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan
zaman dan kebutuhan masyarakat.
2.2.3. Asas Keadilan (Al
‘Adalah)
Dalam QS. Al-Hadid (57): 25 disebutkan bahwa Allah berfirman yang
artinya ”Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan
Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. Selain itu
disebutkan pula dalam QS.Al A’raf (7): 29 yang artinya “Tuhanku menyuruh
supaya berlaku adil”. Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak
dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi
perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.[11]
2.2.4.
Asas Persamaan Atau
Kesetaraan
Hubungan
mu’amalah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seringkali terjadi
bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya. Oleh karena itu sesama
manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka antara manusia
yang satu dengan yang lain, hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang
lain dari kelebihan yang dimilikinya. Dalam melakukan kontrak para pihak
menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan dan
kesetaraan.[12] Tidak diperbolehkan terdapat kezaliman yang dilakukan dalam
kontrak tersebut. Sehingga tidak diperbolehkan membeda-bedakan manusia berdasar
perbedaan warna kulit, agama, adat dan ras. Dalam QS.al-Hujurat (49): 13
disebutkan yang artinya ”Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”
2.2.5.
Asas Kejujuran dan
Kebenaran (Ash Shidiq)
Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan
merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak.[13] QS.al-Ahzab (33): 70 disebutkan yang artinya, ”Hai orang –orang yang beriman, bertaqwalah
kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. Suatu perjanjian
dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan
perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat
dilarang.
2.2.6.
Asas Tertulis (Al
Kitabah)
Suatu
perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai
alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan.[14] Dalam QS.al-Baqarah (2); 282- 283 dapat dipahami bahwa Allah SWT
menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian dilakukan secara tertulis,
dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan
perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika
suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu
benda sebagai jaminannya.[15]
2.2.7.
Asas Iktikad baik (Asas
Kepercayaan)
Asas ini mengandung
pengertian bahwa para pihak dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi
kontrak atau prestasi berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh serta
kemauan baik dari para pihak agar tercapai tujuan perjanjian. Setiap akad wajib di laksanakan oleh para pihak sesuai dengankesepakatan yang di terapkan oleh yang bersangkutan dan pada sama terhindar dari cedera-janji.
Dasar hukumnya dapat di baca dalam surat Al Baqarah [2]:283 yaitu
“akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”
2.2.8.
Asas Kemanfaatan dan
Kemaslahatan
Asas
ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus
mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan
diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat
ketentuannya dalam al Qur’an dan Al Hadis.[16] Asas kemanfaatan dan kemaslahatan ini sangat relevan dengan
tujuan hukum Islam secara universal.
2.2.9.
Asas Konsensualisme
atau Asas Kerelaan (mabda’ ar-rada’iyyah)
Dalam
QS. An-Nisa (4): 29 yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”, dari
ayat di atas dapat dipahami bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas
dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing pihak tidak
diperbolehkan ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-statement. Jika
hal ini tidak dipenuhi maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang
batil.[17] Asas ini terdapat juga dalam hadis riwayat Ibn Hibban dan
al-Baihaqi yang artinya: ”Sesungguhnya jual beli berdasarkan perizinan (rida)”.[18]
2.2.10. Asas Kebebasan Berkontrak (mabda’ hurriyah at-ta’aqud)
Islam
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk
dan isi perikatan tersebut ditentukan ditentukan oleh para pihak. Apabila telah
disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan tersebut mengikat para pihak yang
menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun
kebebasan ini tidak absolute. Sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah
Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman Djamil
bahwa, ”Syari’ah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan
akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan syarat sahnya adalah
ajaran agama.”[19] Dalam QS.al-Maidah (5): 1 disebutkan, yang artinya ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian”
2.2.11. Asas Perjanjian Itu Mengikat
Asas
ini berasal dari hadis Nabi Muhammad saw yang artinya: “Orang-orang muslim
itu terikat kepada perjanjian-perjanjian (Klausul-klausul) mereka, kecuali
perjanjian (klausul) yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram”.[20]
Dari
hadis di atas dapat dipahami bahwa setiap orang yang melakukan perjanjian
terikat kepada isi perjanjian yang telah disepakati bersama pihak lain dalam
perjanjian. Sehingga seluruh isi perjanjian adalah sebagai peraturan yang wajib
dilakukan oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.
2.2.12. Asas Keseimbangan Prestasi
Yang
dimaksudkan dengan asas ini adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak
memenuhi dan melaksanakan perjanjian.[21] Dalam hal ini dapat diberikan ilustrasi, kreditur mempunyai
kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan
prestasi melalui harta debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
2.2.13. Asas Kepastian Hukum (Asas Pacta Sunt Servanda)
Asas
kepastian hukum ini disebut secara umum dalam kalimat terakhir QS. Bani Israil
(17): 15 yang artinya, ”….dan tidaklah Kami menjatuhkan hukuman kecuali
setelah Kami mengutus seorang Rasul untuk menjelaskan (aturan dan ancaman)
hukuman itu….”. Selanjutnya di dalam QS.al-Maidah (5): 95 dapat dipahami
Allah mengampuni apa yang terjadi di masa lalu. Dari kedua ayat tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa asas kepastian hukum adalah tidak ada suatu
perbuatanpun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan tersebut.[22]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari
paparan-paparan terdahulu, sebagai penutup perlu dikemukakan
kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
Dalam
hukum kontrak syariah, paling tidak terdapat asas-asas perjanjian diatas yang
dapat digunakan sebagai landasan berpikir dan bertransaksi dalam penegakan
hukum kontrak syariah tersebut. Asas-asas perjanjian itu adalah, Asas ilahiyah, Asas Kebolehan, Asas
Keadilan, Asas Kesamaan, Asas Kejujuran, Asas Tertulis, Asas Iktikad baik, Asas
Kemanfaatan, Asas Kerelaan, Asas kebebasan berkontrak, Asas Perjanjian
mengikat, Asas keseimbangan prestasi, Asas kepastian hukum.
Salah
satu asas dalam asas perjanjian ada yang dinamakan asas kebebasan berkontrak.
Dengan asas kebebasan berkontrak tersebut kaum muslimin mempunyai kebebasan
untuk membentuk akad-akad baru selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
dan tujuan hukum Islam. Dengan demikian fiqih mu’amalah dapat dikembangkan
secara dinamis dalam rangka menjawab persoalan-persoalan baru ekonomi
kontemporer.
Dalam
merespon perkembangan bentuk-bentuk baru dalam bertransaksi sudah seharusnya
ahli fiqih mu’amalah disamping menguasai prinsip-prinsip dan asas-asas umum
hukum Islam itu sendiri, juga mengetahui praktek-praktek mu’amalah kontemporer
yang banyak dikuasai oleh ahli ekonomi konvensional pada umumnya. Hal ini
penting dilakukan karena, bagaimana mungkin penetapan hukum atas bentuk-bentuk
mu’amalah kontemporer dalam hal ini perjanjian,menjadi akurat jika masalah
mu’amalah kontemporer itu sendiri tidak dipahami.
3.2. Saran
Model
kajian fiqih mu’amalah dewasa ini disamping model kajian konseptual teoritik,
juga sudah saatnya dikombinasikan dengan model kajian empirik atas
persoalan-persoalan ekonomi kontemporer, sehingga penguasaan kedua metodologi
kajian fiqih mu’amalah sudah saatnya diimplementasikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud
(2000). Asas-asas Hukum Islam,cet. Ke-5. Jakarta: CV. Rajawali.
Anwar, Syamsul (1992).
“Asas Kebebasan Berkontrak dalam Sunnah Nabi”, dalam Jurnal Asy Syir’ah, No.3
tahun XV, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga.
Azra,
Azzumardi dkk (1997)Ensiklopedi Islam 1, Van Hoeve,
azwar karim, Adiwarman dkk (2002).aplikasi konsep syariah untuk lembaga
keuangan syariah buku 3 norma-norma akad,
Dewi, Gemala dkk
(2006). Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Djamil,Faturrahman,
”Hukum Perjanjian Syari’ah” dalam Mariam Darus Badrulzaman (2001). Kompilasi
Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti
Departemen Pendidikan
Nasional (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3. (Jakarta: Balai
Pustaka),
Mukharrom, Tamyiz, M
(2003). ”Kontrak Kerja Antara Kesepakatan dan Tuntutan Pengembangan SDM” dalam
Jurnal Hukum Islam Al Mawarid Edisi X tahun 2003. Yogyakarta: Program
Studi Syari’ah FIAI UII.
Salim, H. S. (2006). Hukum
Kontrak: Teori dan Penyusunan Kontrak, cet.ke-4. Jakarta: Sinar Grafika.
Syakir
Aula, Muhammad (2004). Asuransi
Syari’ah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1.
(Jakarta: Gema Insani Press),
Musbikin,
Imam (2001). Qawa’id Al-Fiqhiyah,
cet. 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada).
[2]. Departemen Pendidikan Nasional (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3. (Jakarta: Balai
Pustaka), hlm. 70.
[3]. Ibid. hlm. 896.
[5]. Ensiklopedi Islam 1, Van Hoeve 1997, hal 95.
[7]. Muhammad
Syakir Aula (2004). Asuransi Syari’ah
(Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1. (Jakarta:
Gema Insani Press), hlm. 723-727,
[8]. Imam
Musbikin (2001). Qawa’id Al-Fiqhiyah,
cet. 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada), lihat Syamsul Anwar (2006). Kontrak dalam Islam ..., hlm. 12.
[9]. Ibid.
[16]. M.Tamyiz Muharrom (2003), “Kontrak Kerja: Antara Kesepakatan dan
Tuntutan Pengembangan SDM”, dalam Al Mawarid Jurnal Hukum Islam, Edisi X
tahun 2003, (Yogyakarta: Program Studi Syari’ah FIAI UII).
[17]. Faturrahman Djamil. “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Mariam
Darus Badzrulzaman et. al. (2001) Kompilasi Hukum Perikatan, cet. 1.
(Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm. 250,
[19]. Faturrahman
Djamil. “Hukum Perjanjian Syari’ah”..., hlm. 249, lihat juga Gemala Dewi
(2006). Hukum Perikatan Islam di
Indonesia ..., hlm. 31, Syamsul Anwar (2006). Kontrak Dalam Islam ..., hlm. 12.
[21].
Salim H. S (2006), Hukum Kontrak ..., hlm. 13-14, lihat juga Syamsul
Anwar (2006). Kontrak dalam Islam ..., hlm. 12.
[22].
Mohammad Daud Ali (1990). Asas-asas Hukum Islam ..., hlm. 115.