21 September 2014

ASAS-ASAS PERJANJIAN DALAM HUKUM ISLAM

ASAS-ASAS PERJANJIAN DALAM HUKUM ISLAM
Oleh Zainal Anwar


Abstrak
Salah satu prinsip dasar dalam bermuamalah dalam hukum islam adalah kebebasan dalam melakukan perjanjian. Dengan ini masyarakat muslim bebas untuk berkreasi, memodifikasi atau membuat bentuk perjanjian selama masih dalam koridor dasar hukum islam yang sah. Dengan pemikiran sosial secara terbuka, hukum Islam akan dapat menjawab pertanyaan permasalahan ekonomi , disamping itu juga bisa menjadi solusi permasalahan-permasalahan sosial tanpa melanggar prinsip-prinsip hukum Islam.

Kata Kunci: asas perjanjian, hukum perjanjian syariah, dan kebebasan berkontrak.


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Interaksi antar sesama manusia yang satu dengan yang lain merupakan suatu kegiatan manusia yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat dihindarinya yakni sebagai makhluk sosial. Karenanya adalah untuk menuju kehidupan yang sesuai dengan yang diinginkan, memenuhi kebutuhan dan keinginan.  Kebutuhan dan keinginan manusia yang berbeda-beda itu sering menimbulkan konflik, pertengkaran bahkan saling membunuh. Dari sinilah muncul yang namannya hukum. Diharapkan akan mengatarkan suatu kehidupan yang tenang, damai dan sejahtera. Walaupun berbeda dengan yang lain akan tetapi kalau ada hukum maka akan diikatkan dirinya dengan hukum tersebut, sehingga perbedaan tersebut akan menjadi keindahan, saling berjalan tanpa ada gangguan dan hambatan, itulah tujuan adanya hukum.
Kemudian ada lagi perjanjian, ini merupakan sesuatau yang menghubungkan, menggabungkan atau ikatan supaya dalam melakukan suatu tujuan tersebut berjalan dengan lancar, sesuai dengan yang diinginkan bersama. Apalagi kalau dihubungkan dengan syariah, maka akan lebih khusus lagi didasarkan pada haluan aturan agama islam, yaitu agama yang dibawa Nabi Muhammad dengan kitab suci Al Qur’an sebagai pedoman utamanya.
Perjanjian telah dikenal manusia sejak dulu kala. Namun pembahasan-pembahasan tentang sejarah perjanjian belum berhasil memberikan jawaban yang pasti tentang bagaimana timbulnya pemikiran tentang perjanjian dalam masyarakat dan apa sebab-sebab kelahirannya.
Ada yang berpendapat bahwa bentuk perjanjian yang mula-mula timbul dalam masyarakat adalah barter. Kemudian lahirlah perjanjian dengan menggunakan uang. Dengan lahirnya uang, seseorang dapat membeli barang yang diperlukan dengan mudah, tanpa harus menukarkan barang yang dimilikinya. [1]  

1.2. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian asas perjanjian menurut hukum Islam?
2.      Apa saja asas-asas perjanjian dalam hukum Islam?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   Pengertian Asas Perjanjian
2.1.1.      Pengertian Menurut bahasa
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi. Secara terminologi asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.[2] Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya.[3]
Sedangkan istilah “perjajian” dalam hukum indonesia adalah disebut “akad” dalam hukum islam. Kata al-aqd, yang berarti mengikat, seperti pada kata aqada al habla artinya mengikat tali. Al-aqd bisa berarti memperkuat dan mempererat seperti dalam kata aqada shilatan thayyibatan bi fulan yang artinya ia mempererat hubungan baik dengan sifulan. Disini mempererat berarti mengikat kuat.[4] Sedangksn dalam Ensiklopedi Islam al-aqd berarti simpulan, perikatan, perjanjian, dan permufakatan (intifaq) [5]

2.1.2.      Pengertian dalam istilah fiqh islam
Kata akad yang sudah dikenal dalam bahasa arab tersebut digunakan pula dalam al qur’an, yaitu firman Allah pada surat al maidah ayat 1yang artinya:“Hai orang-orang yang beriman laksanakanlah akad-akad kamu”.
Para ahli fiqih berpendapat akad dapat diartikan menjadi 2 (dua) pengertian yaitu pengertian secara umum dan pengertian secara khusus.
Secara umum mereka memandang bahwa setiap yang mengandung tekad seseorang melakukannya adalah akad, baik tekad itu dari satu pihak saja seperti wakaf, maupun harus ada sambutan dari pihak lain yang mempunyai kehendak sama seperti menjual suatu barang harus ada sambutan dari pembelinya.
Secara khusus pengertian akad yaitu pertalian ijab (yang diucapkan salah satu pihak yang mengadakan kontrak) dengan kabul (yang diucapkan pihak lain yang menimbulkan pengaruh pada obyek kontrak. [6]

2.2.        Asas-asas Perjanjian (Akad)
Dalam hukum kontrak syari’ah terdapat asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan dan pelaksanaannya. Adapun asas-asas perjanjian tersebut adalah:
2.2.1.      Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam QS.al-Hadid (57): 4  yang artinya ”Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Kegiatan mu’amalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal itu. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua,tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT. [7]

2.2.2.       Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya,”Pada asasnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”.[8] Kaidah fiqih tersebut bersumber pada dua hadis berikut ini:
Hadis riwayat al Bazar dan at-Thabrani yang artinya:
“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaaf-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatupun”.[9]
Hadis riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya:
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia,dan Allah telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia. [10]
Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa segala sesuatunya adalah boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
2.2.3.      Asas Keadilan (Al ‘Adalah)
Dalam QS. Al-Hadid (57): 25 disebutkan bahwa Allah berfirman yang artinya ”Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. Selain itu disebutkan pula dalam QS.Al A’raf (7): 29 yang artinya “Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”. Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.[11]
2.2.4.      Asas Persamaan Atau Kesetaraan
Hubungan mu’amalah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seringkali terjadi bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya. Oleh karena itu sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka antara manusia yang satu dengan yang lain, hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan.[12] Tidak diperbolehkan terdapat kezaliman yang dilakukan dalam kontrak tersebut. Sehingga tidak diperbolehkan membeda-bedakan manusia berdasar perbedaan warna kulit, agama, adat dan ras. Dalam QS.al-Hujurat (49): 13 disebutkan yang artinya ”Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”
2.2.5.      Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq)
Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak.[13] QS.al-Ahzab (33): 70 disebutkan yang artinya, ”Hai orang –orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. Suatu perjanjian dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat dilarang.

2.2.6.      Asas Tertulis (Al Kitabah)
Suatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan.[14] Dalam QS.al-Baqarah (2); 282- 283 dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya.[15]
2.2.7.      Asas Iktikad baik (Asas Kepercayaan)
Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi kontrak atau prestasi berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh serta kemauan baik dari para pihak agar tercapai tujuan perjanjian. Setiap akad wajib di laksanakan oleh para pihak sesuai dengankesepakatan yang di terapkan oleh yang bersangkutan dan pada sama terhindar dari cedera-janji. Dasar hukumnya dapat di baca dalam surat Al Baqarah [2]:283 yaitu 
            “akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya

2.2.8.      Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan
Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuannya dalam al Qur’an dan Al Hadis.[16] Asas kemanfaatan dan kemaslahatan ini sangat relevan dengan tujuan hukum Islam secara universal.

2.2.9.      Asas Konsensualisme atau Asas Kerelaan (mabda’ ar-rada’iyyah)
Dalam QS. An-Nisa (4): 29 yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing pihak tidak diperbolehkan ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak dipenuhi maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang batil.[17] Asas ini terdapat juga dalam hadis riwayat Ibn Hibban dan al-Baihaqi yang artinya: ”Sesungguhnya jual beli berdasarkan perizinan (rida)”.[18]
2.2.10.  Asas Kebebasan Berkontrak (mabda’ hurriyah at-ta’aqud)
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan tersebut mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolute. Sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman Djamil bahwa, ”Syari’ah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan syarat sahnya adalah ajaran agama.”[19] Dalam QS.al-Maidah (5): 1 disebutkan, yang artinya ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian”

2.2.11.  Asas Perjanjian Itu Mengikat
Asas ini berasal dari hadis Nabi Muhammad saw yang artinya: “Orang-orang muslim itu terikat kepada perjanjian-perjanjian (Klausul-klausul) mereka, kecuali perjanjian (klausul) yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.[20]
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa setiap orang yang melakukan perjanjian terikat kepada isi perjanjian yang telah disepakati bersama pihak lain dalam perjanjian. Sehingga seluruh isi perjanjian adalah sebagai peraturan yang wajib dilakukan oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.
2.2.12.  Asas Keseimbangan Prestasi
Yang dimaksudkan dengan asas ini adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.[21] Dalam hal ini dapat diberikan ilustrasi, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui harta debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
2.2.13.  Asas Kepastian Hukum (Asas Pacta Sunt Servanda)
Asas kepastian hukum ini disebut secara umum dalam kalimat terakhir QS. Bani Israil (17): 15 yang artinya, ”….dan tidaklah Kami menjatuhkan hukuman kecuali setelah Kami mengutus seorang Rasul untuk menjelaskan (aturan dan ancaman) hukuman itu….”. Selanjutnya di dalam QS.al-Maidah (5): 95 dapat dipahami Allah mengampuni apa yang terjadi di masa lalu. Dari kedua ayat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa asas kepastian hukum adalah tidak ada suatu perbuatanpun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan tersebut.[22]


BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari paparan-paparan terdahulu, sebagai penutup perlu dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
Dalam hukum kontrak syariah, paling tidak terdapat asas-asas perjanjian diatas yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir dan bertransaksi dalam penegakan hukum kontrak syariah tersebut. Asas-asas perjanjian itu adalah, Asas ilahiyah, Asas Kebolehan, Asas Keadilan, Asas Kesamaan, Asas Kejujuran, Asas Tertulis, Asas Iktikad baik, Asas Kemanfaatan, Asas Kerelaan, Asas kebebasan berkontrak, Asas Perjanjian mengikat, Asas keseimbangan prestasi, Asas kepastian hukum.
Salah satu asas dalam asas perjanjian ada yang dinamakan asas kebebasan berkontrak. Dengan asas kebebasan berkontrak tersebut kaum muslimin mempunyai kebebasan untuk membentuk akad-akad baru selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan tujuan hukum Islam. Dengan demikian fiqih mu’amalah dapat dikembangkan secara dinamis dalam rangka menjawab persoalan-persoalan baru ekonomi kontemporer.
Dalam merespon perkembangan bentuk-bentuk baru dalam bertransaksi sudah seharusnya ahli fiqih mu’amalah disamping menguasai prinsip-prinsip dan asas-asas umum hukum Islam itu sendiri, juga mengetahui praktek-praktek mu’amalah kontemporer yang banyak dikuasai oleh ahli ekonomi konvensional pada umumnya. Hal ini penting dilakukan karena, bagaimana mungkin penetapan hukum atas bentuk-bentuk mu’amalah kontemporer dalam hal ini perjanjian,menjadi akurat jika masalah mu’amalah kontemporer itu sendiri tidak dipahami.

3.2. Saran
Model kajian fiqih mu’amalah dewasa ini disamping model kajian konseptual teoritik, juga sudah saatnya dikombinasikan dengan model kajian empirik atas persoalan-persoalan ekonomi kontemporer, sehingga penguasaan kedua metodologi kajian fiqih mu’amalah sudah saatnya diimplementasikan.




DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud (2000). Asas-asas Hukum Islam,cet. Ke-5. Jakarta: CV. Rajawali.
Anwar, Syamsul (1992). “Asas Kebebasan Berkontrak dalam Sunnah Nabi”, dalam Jurnal Asy Syir’ah, No.3 tahun XV, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga.
Azra, Azzumardi dkk (1997)Ensiklopedi Islam 1, Van Hoeve,
azwar karim, Adiwarman dkk (2002).aplikasi konsep syariah untuk lembaga keuangan syariah buku 3 norma-norma akad,
Dewi, Gemala dkk (2006). Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Djamil,Faturrahman, ”Hukum Perjanjian Syari’ah” dalam Mariam Darus Badrulzaman (2001). Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti
Departemen Pendidikan Nasional (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3. (Jakarta: Balai Pustaka),
Mukharrom, Tamyiz, M (2003). ”Kontrak Kerja Antara Kesepakatan dan Tuntutan Pengembangan SDM” dalam Jurnal Hukum Islam Al Mawarid Edisi X tahun 2003. Yogyakarta: Program Studi Syari’ah FIAI UII.
Salim, H. S. (2006). Hukum Kontrak: Teori dan Penyusunan Kontrak, cet.ke-4. Jakarta: Sinar Grafika.
Syakir Aula, Muhammad (2004). Asuransi Syari’ah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1. (Jakarta: Gema Insani Press),
Musbikin, Imam (2001). Qawa’id Al-Fiqhiyah, cet. 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada).






[1]aplikasi konsep syariah untuk lembaga keuangan syariah buku 3 norma-norma akad 2002, h. 55
[2]Departemen Pendidikan Nasional (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3. (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 70.
[3]Ibid. hlm. 896.
[4].  aplikasi konsep syariah untuk lembaga keuangan syariah buku 3 norma-norma akad 2002 hal. 55.
[5]Ensiklopedi Islam 1, Van Hoeve 1997, hal 95.
[6]. aplikasi konsep syariah untuk lembaga keuangan syariah buku 3 , op.cit.hal. 57
[7].  Muhammad Syakir Aula (2004). Asuransi Syari’ah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1. (Jakarta: Gema Insani Press), hlm. 723-727,
[8].  Imam Musbikin (2001). Qawa’id Al-Fiqhiyah, cet. 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada), lihat Syamsul Anwar (2006). Kontrak dalam Islam ..., hlm. 12.
[9].  Ibid.
[10]. Ibid, hlm. 59.
[11]. Gemala Dewi (2006). Hukum Perikatan ..., hlm. 33,
[12]. Ibid, hlm. 32-33
[13]. Ibid,
[14]. Gemala Dewi (2006). Hukum Perikatan ..., hlm. 37-38
[15]. Ibid,
[16]. M.Tamyiz Muharrom (2003), “Kontrak Kerja: Antara Kesepakatan dan Tuntutan Pengembangan SDM”, dalam Al Mawarid Jurnal Hukum Islam, Edisi X tahun 2003, (Yogyakarta: Program Studi Syari’ah FIAI UII).
[17]. Faturrahman Djamil. “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Mariam Darus Badzrulzaman et. al. (2001) Kompilasi Hukum Perikatan, cet. 1. (Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm. 250,
[18]. Ibid,
[19]. Faturrahman Djamil. “Hukum Perjanjian Syari’ah”..., hlm. 249, lihat juga Gemala Dewi (2006). Hukum Perikatan Islam di Indonesia ..., hlm. 31, Syamsul Anwar (2006). Kontrak Dalam Islam ..., hlm. 12.
[20]. Hadis riwayat Bukhari, Tirmizi dan al-Hakim.
[21]. Salim H. S (2006), Hukum Kontrak ..., hlm. 13-14, lihat juga Syamsul Anwar (2006). Kontrak dalam Islam ..., hlm. 12.
[22]. Mohammad Daud Ali (1990). Asas-asas Hukum Islam ..., hlm. 115.

PENDEKATAN STUDI ISLAM PENDEKATAN TEOLOGI

PENDEKATAN STUDI ISLAM PENDEKATAN TEOLOGI
Oleh: Zainal Anwar

Abstrak
Salah satu pendekatan dalam studi Islam adalah pendekatan teologis, atau bisa disebut ilmu kalam, yaitu ilmu yang membicarakan tentang tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, dimana dari zaman ke zaman mengalami perkembangan, dimulai sejak zaman nabi Muhammad saw, khulafa’urrasyidin hingga pasca khulafa’urrasyidin. Setiap zaman mempunyai permasalahan yang berbeda. Pendekatan tersebut mempunyai beberapa karakteristik dasar dan diaplikasikan sesuai zamannya.

Kata kunci: pendekatan teologis, historis, karakteristik dasar pendekatan teolosgi dan aplikasi pendekatan teologis.


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Agama sering dipahami sebagai sumber gambaran-gambaran yang sesunguhnya tentang dunia ini, sebab ia diyakini berasal dari wahyu yang diturunkan oleh untuk semua manusia. namun, dewasa ini, agama kerap kali dikritik karena tidak dapat mengakomidir segala kebutuhan manusia, bahkan agama dianggap sebagai sesuatu yang “menakutkan”, karena berangkat dari sanalah tumbuh berbagai macam konflik, pertentangan yang terus   meminta korban. Kemudian sebagai tanggapan atas kritik itu, orang mulai mempertanyakan kembali dan mencari hubungan yang paling otentik antara agama dengan masalah-masalah kehidupan sosial budaya kemasyarakatan yang berlaku dewasa ini. Apa yang menjadi kritik terhadap agama adalah bahwa agama, tepatnya pemikiran-pemikiran keagamaannya terlalu menitik beratkan pada struktur-struktur logis argument tekstual (normative). Ini berarti mengabaikan segala sesuatu yang membuat agama dihayati secara semestinya. Struktur logis tidak pernah berhubungan dengan tema-tema yang menyangkut tradisi, kehidupan sosial dan kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat.
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Seiring perubahan waktu dan perkembangan zaman , agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi manusia. agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar di sampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Melihat kenyataan semacam ini, maka diperlukan rekonstruksi pemikiran keagamaan, khususnya berkaitan dengan pendekatan teologis.

1.2.   Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pendekatan teologis?
2.      Bagaimana perkembangan pendekatan teologi Islam dari zaman ke zaman?
3.      Apa saja karakteristik pendekatan teologis?
4.      Bagaimana aplikasi pendekatan teologis?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pendekatan Teologis.
2.1.1.      Pengertian pendekatan
Secara etimologi pendekatan adalah derivasi kata dekat, artinya tidak jauh, setelah mendapat awalan pe dan akhiran an maka artinya (a) proses, perbuatan, cara mendekati (b) usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti atau metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Pendekatan dari sudut terminologi adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dari keterangan di atas, dapat kita pahami bahwa pendekatan terhadap objek pengkajian perlu dimasyarakatkan guna mendapatkan keterangan ilmiah seiring dengan tuntunan zaman [1]      
2.1.2.       Pengertian Teologi
Istilah teologi lahir dalam tradisi Kristen. Secara harfiyah, teologi berasal dari bahasa Yunani, theos dan logos yang berarti ilmu ketuhanan. Istilah teologi dalam bahasa Yunani tersebut, dalam tradisi Islam dikenal dengan ilmu kalam yang berarti perkataan-perkataan manusia tentang Allah.Tetapi pengertian ini menurut Steenbrink (1987:10) dianggap kurang cocok karena teologi memang tidak bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan, baik wujud, sifat, dan perbuatan-Nya, yang dalam khasanah islam disebut ilmu kalam. Teologi tidak identic dengan ilmu kalam atau ilmu luhut yang oleh Al-Ahwani diartikan sebagai rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh kebenaran akidah agama Islam (Al-Ahwani, 1995:17).A. Hanafi mengartikan ilmu kalam sebagai upaya mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari serangan-serangan pihak luar dengan menggunakan pendekatan filsafat atau dalili-dalil aqli.
Dalam Encyclopaedia of Religion, dikatakan bahwa teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun sering kali diperluas mencakup seluruh bidang agama.Dengan demikian, teologi memiliki pengertian luas dan identic dengan ilmu agama itu sendiri.Dalam diskursus ilmiah, istilah teologi biasanya memiliki arti yang khusus.Teologi, kata Pidekso, sebagai upaya seluruh orang beriman dalam menangkap, memahami serta memberlakukan kehendaktuhan melalui konteksnya (Ambednego, 1994:15).Teologi adalah refleksi orang yang beriman tentang bagaimana bentuk atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Kata Anselmus, teologi adalah fides quaren intellectum, iman yang mencari pengertian (Amin, 1988: ix).
Teologi juga dapat dilihat dari tiga segi: teologi actual yaitu berteologi yang melahirkan keprihatinan iman dalam wujud tingkah laku sehari-hari; teologi intelektual, yaitu teologi yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid yang hanya dipahami oleh para alim dibidang ini dan teologi spiritual yang melahirkan perilaku mistik. [2]

2.2.      Perkembangan Historis Pendekatan Teologi
Menurut Harun Nasution, persoalan yang pertama-tama muncul sehingga lahir perdebatan dalam bidang kalam atau teologi adalah persoalan politik. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Agar persoalan ini menjadi jelas, berikut akan diuraikan sejarah perkembangan kemunculan kalam atau teologi dalam islam yang dibagi menjadi tiga zaman yaitu zaman Nabi Muhammad saw, zaman Khulafa’urrasyidin dan zaman Pasca Khulafaurrasyidin.
2.2.1.      Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Nabi Muhammad saw
Teologi atau ilmu kalam sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad maupun pada zaman sahabatnya.  Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu muncul dan setelah orang banyak membicarakan masalah-masalah alam gaib atau metefisika. [3]
Sahabat-sahabat Nabi waktu itu berkumpul dihadapan Nabi untuk mendengarkan wahyu ilahi yang turun sewaktu-waktu. Ada diantara mereka yang menulis wahyu dan ada yang hanya menghapal di luar kepala.[4] apabila terdapat suatu kesulitan atau sesuatu yang tidak dapat dipahami, maka mereka dapat menanyakannya secara langsung kepada Rasul.[5] Apabila mereka mendengarkan atau mambaca ayat yang menerangkan tentang sifat Tuhan, maka mereka lantas yakin seyakin-yakinnya. Dengan demikian, tiadalah sesuatu yang diragukan atau dipersilisihkan. Nabi dapat menyelesaikan persoalan dengan sebaik-baiknya dan juga mudah dimengerti oleh sahabat.
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al- Baqarah: 163)
Para sahabat Nabi karena mereka orang Arab, sedang al- Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab pula, mereka dapat menangkap isi dan arti yang hakiki dari ayat-ayat al- Qur’an itu, sehingga mereka yakin bahwa Allah itu Esa, sifatnya pengasih dan penyayang, mereka tidak tanya-tanya lagi. Demikian cara Nabi menyampaikan ajaran ketauhidan-Nya kepada para sahabat.[6]
Persoalan politik sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian awal yang kelak meningkat menjadi persoalan teologi belum terjadi pada masa ini. Meskipun pada masa ini islam telah bersinggungan dengan politik. Hal ini dapat kita lihat dalam sejarah penyebaran islam di Hijaz, baik pada periode Mekah maupun pada periode Madinah.
Ketika di Mekah Nabi Muhammad saw. Hanya mempunyai fungsi sebagai kepala agama dan tidak mempunyai fungsi kepala pemerintahan, karena kekuasaan politik yang ada di sana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Kekuasaan politik di kota ini terletak dalam tangan pedagang tinggi. Sebaliknya di Madinah, Nabi Muhammad saw. Menjadi kepala agama sekaligus kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini. Sebelum itu tidak ada kekuasaan politik di kota ini. [7]

2.2.2.      Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman khulafāurrāsyidin
Ketika Nabi Muhammad saw. Wafat pada tanggal 12 Rabiul awwal tahun 11 H/632 M daerah kekuasaan Madinah tidak hanya terletak pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh semenanjung Arabia. Negara Islam di waktu itu, seperti digambarkan oleh W. M. Watt, telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang telah mengikat tali persekutuan dengan Nabi Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga masyarakat Mekah sebagai intinya.[8]
Jadi tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai nagara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan persoalan kedua bagi mereka. Timbullah soal khilāfah, soal pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala Negara. Sebagai Nabi atau Rasul, tentu tidak dapat digantikan.[9]
Kendatipun Rasul saw. Tidak menunjuk seorang khalifah (pengganti) beliau namun tokoh-tokoh dalam masyarakat muslim mengetahui benar-benar bahwa islam menuntut adanya kekhalifaan yang didasarkan atas musyawarah. Tidak satu keluarga pun memonopoli pemerintahan, tidak seorang pun merampas kekuasaan dengan kekuatan atau paksaan, dan tidak seorang pun yang memuji dirinya atau memaksakan dirinya untuk mencapai kedudukan khalifah. Rakyat pada saat itu dengan sukarela telah memilih empat sahabat Nabi untuk diangkat sebagai khalifah.[10]
Sejarah meriwayatkan bahwa perdebatan yang lumayan sengit terjadi antara kaum Anshar dan Muhajirin dalam hal siapa yang berhak menjadi khalifah, akhirnya mereka sepakat mengangkat Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai kepala Negara atau khalifah yang pertama. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar Bin Khattab.
Pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar kondisi politik relatif stabil. Politik yang kelak menjadi persoalan teologi pada masa ini belum terjadi. Hal ini dikarenakan pada masa ini umat muslimin sibuk berperang melawan kaum muslimin yang murtad dengan mengikuti ajaran Musailamah alKazzab yang mengaku sebagai Nabi dan berperang melawan orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat pada waktu itu. Sedangkan pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab, umat islam sibuk melakukan ekspansi ke berbagai negeri, sehingga mereka tidak sempat memperdebatkan masalah-masalah teologi. Ekspansi yang dilakukan umat islam pada waktu itu seperti ke Persia, Syam, syiria, Palestina, Mesir, dan turki.
Setelah Umar wafat akibat ditikam ketika memimpin salat, dia digantikan oleh Usman Bin Affan sebagai khalifah. Usman termasuk golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang aristokrat Mekah yang karena pengalaman dagang mereka, mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang bertambah banyak masuk dalam kekuasaan Islam. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tidak sanggup menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar Bin Khattab, khalifah yang terkenal sebagai khalifah yang kuat dan tidak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman.[11]
Tindakan politik yang dijalankan oleh Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan baginya. Sahabat-sahaba Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau ingin calonnya menjadi khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan tidak senang muncul di daerah-daerah. Dari Mesir, sebagai reaksi dijatuhkannya Amr Bin Ash yang digantikan oleh Abdullah Bin Sa’ad Bin Abi Sahr, salah satu anggota keluarga Usman, sebagai gubernur Mesir, lima ratus pemberontak berkumpul dan kemudian bergarak menuju Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir itu.[12]
Setelah Usman wafat, Ali menggantikannya menjadi khalifah. Tetapi segera pula ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah. Terutama Talha dan Zubair dari Mekah yang mendapat sokongan dari Aisyah ra. Tantangan dari Aisyah ini berhasil dipatahkan oleh Ali pada perang Jamal yang terjadi di Irak pada tahun 656 M. Talha dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah dikembalikan ke Mekah.
Selanjutnya akibat persoalan politik yang menyangkut pembunuhan Usman Bin Affan, berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifaan Ali Bin Abi Thalib. Mu’awiyah sendiri adalah gubernur Damaskus dan merupakan keuarga terdekat Usman. Mu’awiyah menuduh Ali sebagai salah satu orang yang turut ikut campur dalam pembunuhan Usman. Ketegangan antara keduanya mengkristal menjadi perang Shiffin yang berakhir dengan keputusan tahkīm (arbitrase).[13]
Pada peperangan tersebut pasukan Mu’awiyah berhasil dipukul mundur. Tetapi dengan kelicikan salah satu tangan kanan Mu’awiyah yaitu Amr Bin Ash, meminta berdamai dengan mengankat al- Qur’an ke atas. Ali pun menerima ajakan perdamaian itu atas desakan para Qurra yang ada dipihaknya. Maka dicarilah jalan perdamaian dengan arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr Bin Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa alAsy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan antara keduanya terdapat permufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah. Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa sebagai yang tertua yang terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan tersebut. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr Bin Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan oleh Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah.[14]
Bagaimanapun peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Ali tetap menjadi khalifah yang legal, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak oleh Ali dan tidak mau meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh pada tahun 661 M.[15]
Sikap Ali yang menerima ajakan tersebut, sungguhpun berada dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi pada saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari  Allah  dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al- Qur’an. Menurut mereka la hukma illa lillāh (tidak hukum selain hukum Allah) atau la hakama illa allāh (tidak ada pengantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam mereka terkenal dengan nama Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders.[16]  Di luar pasukan Ali yang membelot ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kelak disebut Syiah.
Akhirnya, setelah terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib pada peristiwa ini, maka berakhir pula masa pemerintahan khulafāurrāsyidin.

2.2.3.      Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Pasca Khulafāurrāsyidīn
Setelah berakhirnya masa pemerintahan khulafāurrāsyidin, perpecahan dikalangan umat Islam semakin meruncing. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagaimana yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya akhirnya membawa pada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang masih ada dalam Islam dan siapa yang telah keluar dari Islam.
Khawarij memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, Amr Bin Ash, dan Abu Musa al Asyari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir. Hal ini menurut mereka sesuai dengan firman Allah sebagai barikut:
“barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.(Q.S. al- Maidah: 44)
Ayat inilah yang mereka jadikan semboyan. Karena empat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti telah keluar dari Islam, yaitu murtad atau apostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali Bin Abi Thalib yang berhasil dalam tugasnya.[17] 
Lambat laun kaum Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum berdasarkan al- Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kabairatau capital sinners, juga dipandang kafir. Persoalan berbuat dosa besar inilah kemudian mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya teologi dalam Islam. Persoalannya ialah masikah bisa dipandang mukmin atau sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu ?[18]
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar adalah kafir. Dinyatakan keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan oleh karena itu wajib dibunuh. Ada juga diantara kaum khawarij yang bersifat netral. Mereka memberi dukungan kepada Ali dalam peperangan, bukan kepada lawan-lawannya.[19]
Selanjutnya aliran Syiah yang fanatik kepada Ali dan keturunannya. Mereka berpendapat bahwa tidak seorang pun yang berhak memegang kekhalifaan kecuali keturunan Ali. Kalau ada yang mengakui khalifah bukan dari keturunan Ali, berarti merampas hak kekuasaan. Kekhalifaannya tidak sah. Tetapi akhirnya partai ini dimasuki pula anasir-anasir yang bukan-bukan, yang menyimpang dari pokok agama.[20]
Syiah berkeyakinan bahwa khilāfah dan imamah ditetapkan berdasarkan atas pencalonan dan penunjukan, baik tertutup maupun terbuka. Mereka juga mempertahankan bahwa imāmah itu harus tetap berada pada keluarga Ali; jika imāmah itu pernah berada di luar keluarga Ali, hal itu disebabkan sebuah kekeliruan pada pihak lain atau karena taqiyyah dipihak imam yang benar. Menurut mereka, imāmah bukanlah masalah sipil yang secara sah diselesaikan dengan kehendak rakyat lewat penunjukan seorang imam berdasarkan atas pilihan mereka sendiri. Imāmah adalah masalah fundamental dan merupakan sebuah elemen dasar dari suatu agama. Para utusan Allah tidak boleh mengabaikan atau tidak memperdulikan, apalagi menyerahkannya pada pilihan rakyat kebanyakan.[21]
Selanjutnya aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang diperbuatnya, terserah kepada Allah swt. Untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Mereka memandang perbuatan-perbuatan itu bersifat sekunder daripada niat dan ketetapan hati.[22]
Selanjutnya aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berbuat dosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin.  Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya terkenal dengan istilah al manzila baina al manzilatain (posisi di antara dua posisi).[23]
Mu’tazilah sendiri adalah aliran yang bercorak rasional dan cenderung liberal. Pemikiran mereka ini tidak lain karena dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani klasik yang sangat mengagungkan akal pikiran. Hal ini didapatkan dari penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam Bahasa Arab. Bahkan aliran ini pernah menjadi mazhab resmi Negara, yaitu pada masa pemerintahan khalifah al Ma’mun (813-833 M). Namun, pada masa pemerintahan khalifah al Mutawakkil di tahun 856 M, mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dibatalkan. Dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali pada kedudukan mereka semula. Tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang tidak sedikit dari kalangan umat Islam.[24]
Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran yang terkenal dalam teologi dengan nama Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Jabariyah sebaliknya berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah lakunya, menurut paham Jabariyah bertindak atas paksaan dari Tuhan. Segala gerak geriknya ditentukan oleh TuhanDalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran yang terkenal dalam teologi dengan nama Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Jabariyah sebaliknya berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah lakunya, menurut paham Jabariyah bertindak atas paksaan dari Tuhan. Segala gerak geriknya ditentukan oleh Tuhan.
Kemudian bentuk aliran teologi tradisionil yang disusun oleh Abu Hasan al Asy’ari (935 M). al Asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang mu’tazilah, kemudian beliau keluar lalu mendirikan aliran baru yang terkenal dengan nama Asy’ariyah. Di samping aliran Asy’ariyah timbul pula aliran di Smarkand yang didirikan oleh Abu Mansur al Maturidi (w. 944 M). kemudian aliran ini terkenal dengan nama Maturidiyah. Kedua aliran tradisionil ini sama-sama menentang ajaran yang dipahami oleh aliran Mu’tazilah. Selain keduanya ada pula aliran tradisionil yang juga menentang paham Mu’tazilah. Mereka adalah pengikut-pengikut mazhab Hambali dan pengikut-pengikut dari Abu Hanifah yang dibawa oleh al Tahawi (w. 933) dari Mesir. Tetapi ajaran al Tahawi tidak menjelma menjadi ajaran teologi dalam Islam.
Menurut A. Hanafi M.A., perselisihan-perselisihan dalam soal dosa besar (pembunuhan) sudak bercorak agama, yang sebelumnya masih bercorak politik dan kemudian menjadi pembicaraan penting dalam teologi Islam. Sebagaimana soal khilafat dan imamah sebenarnya lebih tepat dimasukkan dalam ilmu fiqh, karena bertalian dengan hukum amalan lahir, bukan dalam bidang kepercayaan.[25]
Dengan demikian, aliran-alian teologi penting yang timbul dalam Islam adalah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. aliran Khawarij, Murjiah, dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang keduanya disebut Ahl Sunnah wa al Jama’ah . aliran Maturidiyah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariyah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali paham rasionalisme ke dunia Islam, yang kalau dahulu masuknya melalui kebudayaan Yunani klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali dikalangan intelegensia Islam yang mendapatkan pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.[26]
2.3.      Karakteristik Dasar Pendekatan Teologis
Yang menjadi karakteristik dasar dalam pendekatan teologi antara lain: [27]
a.       Truth Claim (klaim kebenaran) hanya ada pada ajarannya. Hal ini memiliki korelasi dengan logika Aristoteles yang bersifat clear-cut, hitam-putih dan salah-benar, hanya berbicara tentang dirinya sendiri dan tentang kebenarannya sendiri.
b.      Partikularistik, artinya mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentinngan umum. Mementingkan daerha atau sukunya masing-masing (sukuisme).
c.       Teosentris, menurut Amin Abdullah masih didominasi oleh pemikiran yang bersifat transcendental-spekulatif yang kurang menyinggung masalah-masalahinsaniyat (humaniora) yang meliputi kehidupan social, politik dan lain sebagainya.
d.      Formalistik, menekankan bentuk forma atau symbol-symbol keagamaan yang masing-masing mengklaim dirinya yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah.
e.       Intoleran, tidak menghargai pandangan atau kepercayaan orang lain yang berbeda atau yang bertentangan dengan dirinya.
f.       Deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu diperytanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai daari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi

2.4.      Aplikasi Pendekatan Teologis dalam Studi Islam
Pendekatan teologis dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog yang saling menyalahkan dan mengkafirkan, yang ada pada akhirnya terjadi pembagian-pembagian umat, tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Melalui pendekatan teologis ini agama dapat menjadi buta terhadap masalah-masalah sosial cenderung menjadi lambang atau identitas yang tidak memiliki makna. Pendekatan teologis juga erat kaitannya dengan ajaran pokok dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penularan pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada keraguan sedikitpun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini, agama tampil prima dengan seperangkat ciri yang khas.
 Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis tersebut menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain bersifat ekslusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain. Sedangkan kelebihannya melalui pendekatan teologis normatif ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama yang dianutnya.
Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat dari suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan.
1.      Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun sering kali diperluas mencakup seluruh bidang agama.
2.      Teologi dalam islam yang dibagi menjadi tiga zaman yaitu zaman Nabi Muhammad saw, zaman Khulafa’urrasyidin dan zaman Pasca Khulafaurrasyidin.
3.      Zaman Nabi muhammad saw hampir tidak ada perselisihan karena semua permasalahan agama ditanyakan langsung kepada nabi, baru setelah masa khulafa’urrasyidin mulai ada perselisihan hingga masa pasca khulafa’urrasyidin.

3.2.Saran
Demikian makalah tentang Pendekatan Teologi dalam Studi Islam yang sudah kami paparkan. Kami menyadari makalah kami jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan, untuk perbaikan makalah ini. Harapan dari pemakalah, semoga maklah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua. Amin


Daftar Pustaka
Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Cet. I;
            Bandung: PT  Mizan Pustaka, 2004), h. 225.
al-Hafizh, Mushlihin.”Definisi Pendekatan”.
http://www.referensimakalah.com/2012/01/definisi-pendekatan_7827.html. Di Akses,
            18 September  2014.
Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II;  Jakarta:  P. T. JAYAMURNI, 1974).
Suprayogo Imam  dan TobroniMetodologi Penelitian Sosial-Agama(Bandung : PT.
            Remaja Rosdakarya, 2003)
Rozak, Abdul dan Anwar,  Rosihon, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
            2001).
Siswanto, Deding , ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990),
Nasution,Harun ,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. V;
            Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA, 1986).




[1].  Mushlihin al-Hafizh.”Definisi Pendekatan”. http://www.referensimakalah.com/2012/01/definisi-pendekatan_7827.html. Di Akses, 18 September  2014.
[2]Imam Suprayogo dan TobroniMetodologi Penelitian Sosial-Agama(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2003)h.57-58.
[3]..  Deding Siswanto, ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990), h. 31. Lihat Juga A.Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II;  Jakarta:  P. T. JAYAMURNI, 1974), h. 18.
[4].. Deding Siswanto, ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990), h. 31. Lihat Juga A.Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II;  Jakarta:  P. T. JAYAMURNI, 1974), h. 18.
[5].. Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II;  Jakarta:  P. T. JAYAMURNI, 1974), h. 19.
[6].. Deding Siswanto, op. cit., h. 32.
[7]..  Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA, 1986), h. 3.
[8]..  Ibid.
[9]..  Ibid.
[10].. Deding Siswanto, ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990), h. 32.
[11].. Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),  h. 4.
[12]..  Ibid.
[13]..  Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001),  h. 27-28. Lihat juga Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),  h. 4-5.
[14].. Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),  h. 5. Lihat juga Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam(Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 182.
[15].. Ibid.
[16].. Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), h. 28. Lihat juga Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT  UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),  h. 6.
[17].. Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),  h. 7.
[18].. Ibid.
[19].. Ibid.
[20]..  Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 211.
[21]..  Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 225.
[22].. Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),  h. 7. Lihat juga Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam(Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 215.
[23].. Ibid.
[24].. Ibid, h. 8-9.
[25].. A. Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II;  Jakarta: P. T. JAYAMURNI, 1974), h. 20.
[26].. Harun Nasution, op. cit., h. 10.
[27].  http://hasthutibaharuddin.blogspot.com/