02 April 2015

STUDI AL-QUR’AN DAN HADITS DALAM PERSPEKTIF HUMANIORA SCIENCES (PERSPEKTIF HERMENEUTIKA)

STUDI AL-QUR’AN DAN HADITS DALAM PERSPEKTIF HUMANIORA SCIENCES
(PERSPEKTIF HERMENEUTIKA)

Zainal Anwar, S.Pd
Abstract 
       Islamic studies , especially studies of the Qur'an and the Hadith is a very interesting study , both for Muslims themselves or persons other than Islam , which they have a different method to produce different conclusions . In studying the Qur'an and hadith they elaborate on some of the other sciences , among others, the humanities .
            Hermeneutic as interpretation knowledge can be classified into three
categories: objective, subjective, and liberation. 1). Objective hermeneutic means an effort to interpret and to understand the meaning of text as the author means. 2). Subjective hermeneutic means an effort to interpret and to understand the meaning of text based on the social context at this time without any consideration to the author thought. 3). Liberation hermeneutic means an effort to interpret and to understand the meaning of text based on the spirit of circumstance and try to make the result of interpretation as the spirit to change the life and the circumstance of the interpreter and the reader.

Keywords : Study of the Qur'an and Hadith , Humanities science perspective , Hermeneutics.

A.  Pendahuluan
Al-Qur’an dan hadits memiliki hubungan yang demikian kuat dalam beristimbat dalam hukum Islam, al Qur’an berada pada posisi pertama dan hadits pada posisi kedua setelah al Qur’an. Karena itu, al Qur’an merupakan sumber pokok dalam pembentukan hukum Islam dan sumber pertamanya. Maka apabila al Qur’an menyebutkan nash terhadap suatu hukum, maka wajib diikuti, dan apabila tidak menyebutkan nash mengenai hukum suatu kasus, maka kembali kepada hadits (sunnah).(Ma’mun Mu’min:2008:16)
Berbagai pemaknaan al-Qur’an dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari merupakan peristiwa atau gejala sosial-budaya yang biasa mendapat perhatian dari para ahli agama. Dengan perspektif ini fenomena yang kemudian menjadi objek kajian bukan lagi al-Qur’an sebagai kitab tetapi perlakuan manusia terhadap al-Qur’an dan bagaimana pola-pola perilaku yang dianggap berdasarkan atas pemahaman tentang al-Qur’an itu diwujudkan. Objek kajian disini adalah bagaimana berbagai pemaknaan terhadap al-Qur’an di atas hadir, dipraktekkan dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari manusia ataukah hanya sebagai wacana belaka. Al-Qur’an yang hidup di tengah kehidupan sehari-hari manusia, bisa berwujud dalam bentuk yang beraneka-ragam, yang bagi sebagian pemeluk Islam mungkin malah telah dianggap menyimpang dari ajaran-ajaran dasar dalam agama Islam itu sendiri.(Heddy Shri Ahimsa-Putra: 2012:251)

B.  Islam sebagai Produk Sejarah dan Budaya
Meskipun Islam merupakan wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Muhammad s.a.w., namun dalam perkembangannya banyak bagiannya yang merupakan produk sejarah. Sebagai contoh: Khulafa’ al-Rasyidun, teologi Syi’ah, Mu’tazilah,  Sunni, merupakan produk sejarah, karena nama ini muncul belakangan. Seluruh bangunan sejarah Islam klasik, tengah, dan modern adalah produk sejarah. Seandainya Islam tidak berhenti di Viena mungkin sejarah Islam di Eropa akan lain. Begitu pula seandainya Islam terus di Spanyol, sejarahnya lain lagi. Seandainya Islam tidak bergumul dengan budaya Jawa, sejarahnya di Indonesia akan lain lagi.
Pendekatan kesejarahan dibutuhkan dalam memahami Islam, karena Islam turun dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Seperti dikatakan oleh Kuntowijoyo bahwa isi kandungan al-Qur’an sendiri dapat dibagi menjadi dua: (1) berisi konsep-konsep, dan (2) berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan (Kuntowijoyo, 1991: 326-328).  
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Seseorang tidak akan memahami Islam keluar dari konteks historisnya, karena akan menyesatkan orang yang memahaminya. Pendekatan ini sebenarnya sudah ditemukan dalam keilmuan Islam misalnya dalam ulum al-Qur’an, bahwa seseorang yang hendak mempelajari al-Qur’an secara benar, harus memepelajari sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang disebut ilmu asbab al-nuzul.  Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya (al-Qaththan, 1997: 79).
Kajian alquran yang kemudian dispesifikan istilahnya menjadi tafsir alquran telah menimbulkan stagnasi epistimologis. Artinya kajian makna alquran dengan tafsir alquran menjadi identik, terutama bagi kalangan awam, sehingga mengakibatkan orang semakin menjauh, atau setidak-tidaknya enggan mengkaji makna alquran, lantaran harus memiliki sejumlah pengetahuan atau ilmu yang tidak mudah dikuasai oleh masyarakat luas, apalagi kalangan awam. (Khudori Soleh:2011)

C.  Analisa Bahasa Dalam Memahami Makna Teks.
Dengan ‘arabi mubin (bahasa arab yang jelas) yang muncul dari lidah Nabi yang secara luas dianggap sebagai buta huruf, sebagian besar dasar estetis yang umum untuk keterbandingan al Qur’an adalah bentuk sastra dan gaya al Qur’an. Al Qur’an tidak hanya yang menegaskan secara berulang-ulang tentang kebahasa-arabannya (arabicity) dalam pengertian linguistik, tetapi juga menyampaikan pesannya dalam istilah yang akrab dengan orang arab. Demikian pula sebagian besar narasi al Qur’an adalah dalam bentuk gaya kiasan dan mensyaratkan komunitas penerimanya sebagai orang yang sebelumnya memiliki beberapa pengetahuan cerita atau alegori (kiasan).(Marzuki Wahid:2005:141)
Secara empiris al qur’an merupakan suatu naskah teks, sebagai kitab yang menggunakan sarana komunikasi bahasa. Namun demikian hendaklah difahami bahwa al qur’an berbeda dengan teks sastra lainnya. Perbedaan terletak pada  hakekat makna, fungsi bahasa yang has, universal, dan mengatasi ruang dan waktu. Hakekat bahasa sebagaimana yang dikembangkan para pemikir bahasa dan pemikir filsafat bahasa merupakan suatu struktur dan makna. Struktur berkaitan dengan bentuk kata, kaidah kata, susunan frasa, struktur kalimat, makna kalimat, struktur fonologi dan pengucapannya. Hakekat khusus  yaitu sarana komunikasi antara Allah dengan makhluk, terutama manusia. Sedangkan bahasa dalam pengertian umum hanya merupakan sarana komunikasi antara manusia satu dengan yang lainnya.(Syamsuddin: 2003:70)
Bahasa dalam al qur’an bukan hanya mengacu pada dunia melainkan mengatasi ruang dan waktu sehingga bahasa alquran mengacu pada: (a) Dunia, yang meliputi dua hal: (1) dunia human, yang meliputi dunia kemanusiaan. (2) dunia infra human, yang berkaitan dengan dunia binatang, tumbuhan, dan duniafisik lainnya dengan segala hukum dan sifat masing-masing. (b) Aspek metafisik, yaitu suatu hakekat makna dibalik hal-hal yang bersifat fisik. Aspek metafisik ini tidak terjangkau oleh indra manusia, sehingga hanya dapat dipahami, dipikirkan, dan dihayati. (c) Adikodrati, yaitu suatu wilayah dibalik dunia manusia yang hanya diinformasikan oleh tuhan melalui wahyu, misalnya tentang surga, neraka kehidupan akhirat, tentang ruh, dari kiamat dan sebagainya. (d) Ilahiyyah, yaitu aspek yang berkaitan dengan hakikat Allah Swt, bahwa Allah itu al Asma’ al Husna, al Azis, al Hakim dan lain sebagainya. (e) Mengatasi dimensi ruang dan waktu, hal ini dijelaskan dalam al quran, misalnya yang berkaitan dengan sejarah para nabi dan rasul Allah serta yang berkaitan dengan dimensi ruang misalnya dunia jin, alam kubur, alam ruh, dan lain sebagainya.
Mengingat hakekat bahasa dalam alquran yang mengacu pada dimensi sebagaimana tersebut diatas, maka untuk memahami ayat-ayat alquran tidak mungkin hanya hanya berdasar pada kaedah-kaedah linguistik semata. Sebagaimana lazimnya, dalam ilmu tafsir diperlukan ilmu nahwu yang menjelaskan tentang perbedaan status kata dalam kalimat, ilmu sharaf yang menjelaskan tentang bentuk kata, ilmu ma’ani yang menjelaskan tentang kekhususan bentuk kalimat dari segi makna yang ditunjukkannya, ilmu badi’ yang menjelaskan tentang keindahan kalimat, dan ilmu qira’ah yang membahas tentang tata cara pengucapan ayat-ayat al quran serta makhraj-makhrajnya. Semua ilmu tersebut lebih berkaitan dengan tingkat linguistik (kebahasaan), adapun asbab an-nuzul-nya lebih berkaitan dengan dimensi waktu. (Syamsuddin: 2003:71)

D.   Hermeneutika Sebagai Teori Penafsiran Teks
a.      Pengertian Hermeneutik
Hermeneutika berasal dari akar kata Yunani hermeneuein berarti menafsirkan, sedang hermeneia sebagai derivasinya berarti penafsiran. Kedua kata tersebut diasosiasikan mempunyai kaitan dengan tokoh yang bernama Hermes atau Hermeios yang dalam mitologi Yunani kuno dianggap sebagai utusan dewa Olympus yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia. (Khudori Soleh:2011)
Menurut Gerhard Ebeling, proses penjelasan yang dilakukan Hermes mengandung tiga konsep dasar hermeneutika: (1) Mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran ke dalam bentuk kata-kata (utterance, speaking) sebagai bentuk penyampaian, (2) Menjelaskan secara rasional (interpretation, explanation) sesuatu yang masih samar agar makna atau maksudnya dapat dipahami dengan jelas, (3) Menerjemahkan (translating) suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa yang lebih dikuasai audiens. (Khudori Soleh:2011)
Akan tetapi, dalam literatur hermeneutika modern, proses pengungkapan pikiran dengan kata-kata, penjelasan secara rasional dan penterjemahan bahasa seperti itu, masih jauh dari pengertian hermeneutika. Apa yang ditulis Ebeling justru lebih dekat dengan makna exegesis (penafsiran). Di sinilah perbedaan antara hermeneutika dengan exegesis. Exegesis lebih merupakan tindakan praktis menafsirkan teks atau komentar aktual atas teks, sedang hermeneutika berkaitan dengan berbagai aturan, metode dan teori yang membimbing seorang mufassir dalam melakukan exegese. (Khudori Soleh:2011)
Karena itu, secara sederhana hermeneutika biasanya diartikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan teks-teks. Dalam definisi yang lebih jelas, hermeneutika diartikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti oleh seorang mufassir dalam memahami teks. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, hermeneutika ternyata tidak hanya digunakan untuk memahami teks, khususnya teks suci keagamaan, melainkan meluas untuk semua bentuk teks, baik sastra, karya seni maupun tradisi masyarakat. (Khudori Soleh:2011)

b.   Bentuk Hermeneutik
Hermeneutika, sebagai sebuah teori dan metode penafsiran, setidaknya dapat diklasifikan dalam tiga model.(Khudori Soleh:2011)

1.      Hermeneutika objektif
Hermeneunetik ini dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968). Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan pengarang, sebab menurut Schleiermacher, apa yang disebut teks adalah ungkapan jiwa pengarangnya.
Menurut Schleiermacher, setiap teks mempunyai dua sisi: (1) Sisi linguistik yang menunjuk pada bahasa yang memungkinkan proses memahami menjadi mungkin. (2) Sisi psikologis yang menunjuk pada isi pikiran si pengarang yang termanifestasikan pada style bahasa yang digunakan.
Dua sisi ini mencerminkan pengalaman pengarang yang pembaca kemudian mengkonstruksinya dalam upaya memahami pikiran pengarang dan pengalamannya.
Selanjutnya, untuk dapat memahami maksud pengarang sebagaimana yang tertera dalam tulisan-tulisannya, karena style dan karakter bahasanya berbeda, maka tidak ada jalan bagi penafsir kecuali harus keluar dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk ke dalam tradisi di mana si penulis teks tersebut hidup, atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman itu. Sedemikian, sehingga dengan masuk pada tradisi pengarang, memahami dan menghayati budaya yang melingkupinya, penafsir akan mendapatkan makna yang objektif sebagaimana yang dimaksudkan si pengarang.
Mengikuti metode hermenutika objektif di atas, dalam aplikasinya pada teks keagamaan, misalnya dalam penafsiran atas teks-teks al-Qur‘an, maka yang harus dilakukan adalah, (1) Kita berarti harus mempunyai kemampuan gramatika bahasa Arab (nahwu-sharaf) yang memadai. (2) Memahami tradisi yang berkembang di tempat dan masa turunnya ayat, sehingga dengan demikian kita dapat benar-benar memahami apa yang dimaksud dan diharapkan oleh teks-teks tersebut.

2.      Hermeneutika subjektif
Hermeneutika subjektif dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans-Georg Gadamer (1900-2002) dan Jacques Derida (1930). Menurut model yang kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan dalam model hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Titik tekan model kedua ini adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis. Inilah perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif.
Dalam pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu sebuah teks dipublikasikan dan dilepas, ia telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si penulis. Karena itu, sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri. Bahkan, penulis telah “mati” dalam pandangan kelompok ini. Karena itu pula, pemahaman atas tradisi si pengarang seperti yang disebutkan dalam hermeneutika objektif, tidak diperlukan lagi. Menurut Gadamer, seseorang tidak perlu melepaskan diri dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk dalam tradisi si penulis dalam upaya menafsirkan teks. Bahkan, hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena keluar dari tradisi sendiri berarti mematikan pikiran dan “kreativitas”. Sebaliknya, seseorang justru harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini (vorhabe), apa yang dilihat (vorsicht) dan apa yang akan diperoleh kemudian (vorgriff). Jelasnya, sebuah teks diinterpretasikan justru berdasarkan pengalaman dan tradisi yang ada pada si penafsir itu sendiri dan bukan berdasarkan tradisi si pengarang, sehingga hermeneutika tidak lagi sekedar mereproduksi ulang wacana yang telah diberikan pengarang melainkan memproduksi wacana baru demi kebutuhan masa kini sesuai dengan subjektifitas penafsir.
Meski demikian, menurut Sumaryono, Gadamer sebenarnya tidak sepenuhnya menganggap salah pertimbangan-pertimbangan atas tradisi sebelumnya seperti dalam hermeneutika objektif, meski ia menganggap sebagai negatif atau rendah. Sebab, memang ada beberapa pertimbangan yang dianggap berlaku, yang menentukan realitas historis eksistensi seseorang, seperti bildung, misalnya. Namun, realitas historis masa lalu tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari masa kini melainkan satu kesatuan atau tepatnya sebuah kesinambungan. Bagi Gadamer, jarak antara masa lalu dan masa kini tidak terpisahkan oleh jurang yang menganga melainkan jarak yang penuh dengan kesinambungan tradisi dan kebiasaan yang dengannya semua yang terjadi di masa lalu menampakkan dirinya di masa kini. Inilah yang membentuk kesadaran kita akan realitas historis. Dalam konteks keagamaan, teori hermeneutika subjektif ini berarti akan merekomendasikan bahwa teks-teks al-Qur‘an harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan kebutuhan kekinian, dan apa yang dimaksud sebagai asbab al-nuzul adalah realitas historis saat ini.

3.      hermeneutika pembebasan
hermeneutika pembebasan ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi (l. 1935), Farid Esack (l. 1959) dan termasuk Nasr Hamid Abu Zaid. Hermeneutika ini sebenarnya didasarkan atas pemikiran hermeneutika subjektif, khususnya dari Gadamer. Namun, menurut para tokoh hermeneutika pembebasan ini, hermeneutika mestinya tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi. Apa yang diinginkan dalam model hermeneutika pembebasan adalah lebih dari sekedar pemahaman. Sebab, kenyataannya hermeneutika sampai sejauh itu memang masih lebih banyak berkutat dalam lingkaran wacana, belum pada aksi. Gadamer sendiri menyebut hermeneutika lebih hanya merupakan permainan bahasa, karena segala yang bisa dipahami adalah bahasa (being that can be understood is language). Hal yang sama juga terjadi dalam tradisi pemikiran Islam yang masih lebih bersifat teosentris dari pada antroposentris, lebih banyak bicara tentang alam metafisis daripada daripada kenyataan empirik.
Hermeneutika sebagai sebuah proses pemahaman hanya menduduki tahap kedua dari keseluruhan proses hermeneutik, karena yang pertama adalah kritik historis untuk menjamin keaslian teks dalam sejarah. Ini penting, karena tidak akan terjadi pemahaman yang benar jika tidak ada kepastian bahwa yang dipahami tersebut secara historis adalah asli. Pemahaman atas teks yang tidak asli akan menjerumuskan orang pada kesalahan. Setelah diketahui keaslian teks suci tersebut dan tingkat kepastiannya benar-benar asli, relatif asli atau tidak asli, baru kemudian yang kedua dipahami secara benar sesuai dengan aturan hermeneutika sebagai ilmu pemahaman, berkenaan terutama dengan bahasa dan keadaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan teks. Dari sini kemudian melangkah pada tahap ketiga, yakni menyadari makna yang dipahami tersebut dalam kehidupan manusia, yaitu bagaimana makna-makna tersebut berguna untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan modern.
Untuk menjamin keaslian sebuah teks suci, mengikuti prinsip-prinsip kritik sejarah, Hanafi mematok aturan-aturan sebagai berikut; (1) Teks tersebut tidak ditulis setelah melewati masa pengalihan secara lisan tetapi harus ditulis pada saat pengucapannya, dan ditulis secara in verbatim (persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali). Karena itu, narator harus orang yang hidup pada zaman yang sama dengan saat dituliskannya kejadian-kejadian tersebut dalam teks. (2) Adanya keutuhan teks. Semua yang di sampaikan oleh narator atau nabi harus disimpan dalam bentuk tulisan, tanpa ada yang kurang atau berlebih. (3) Nabi atau malaikat yang menyampaikan teks harus bersikap netral, hanya sekedar sebagai alat komunikasi murni dari Tuhan secara in verbatim kepada manusia, tanpa campur tangan sedikitpun dari fihaknya, baik menyangkut bahasa maupun isi gagasan yang ada di dalamnya. Istilah-istilah dan arti yang ada di dalamnya bersifat ketuhanan yang sinomin dengan bahasa manusia. Teks akan in verbatim jika tidak melewati masa pengalihan lisan, dan jika nabi hanya sekedar merupakan alat komunikasi. Jika tidak, teks tidak lagi in verbatim, karena banyak kata yang hilang dan berubah, meski makna dan maksudnya tetap dipertahankan. Jika sebuah teks memenuhi persyaratan sebagaimana di atas, ia dinilai sebagai teks asli dan sempurna.
Dengan kaca mata ini, Hanafi menilai bahwa hanya al-Qur‘an yang bisa diyakini sebagai teks asli dan sempurna, karena tidak ada teks suci lain yang ditulis secara inverbatim dan utuh seperti al-Qur‘an.
Proses pemahaman terhadap teks. Sebagaimana yang terjadi pada tahap kritik sejarah, dalam pandangan Hanafi, pamahaman terhadap teks bukan monopoli atau wewenang suatu lembaga atau agama, bukan wewenang dewan pakar, dewan gereja, atau lembaga-lembaga tertentu, melainkan dilakukan atas aturan-aturan tata bahasa dan situasi-situasi kesejarahan yang menyebabkan munculnya teks.
Hasan Hanafi memberikan operasionalisasi tahap kedua dalam memahami teks sebagai berikut; (1) Analisa linguistik, meski diakui bahwa analisa bahasa bukan merupakan analisa yang baik, tetapi ia merupakan alat sederhana yang akan membawa penafsir pada pemahaman terhadap makna teks yang sesungguhnya. Karena itu, disini teks harus dilihat dalam bahasa aslinya, bukan terjemahan. Ini penting karena setiap kata atau bahasa mempunyai makna yang berbeda, dan setiap kata setidaknya memiliki tiga jenis makna: (a) Makna etimologis, yang menunjukkan timbulnya makna kata itu di dunia. Makna ini memberikan jaminan pada teks sebagai suatu kenyataan dan mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran yang bersifat metafisik, mistis, teoritis dan formal; (b) Makna biasa yang mengikat teks pada penggunaan kata dalam satu masyarakat, dalam satu ruang dan waktu. Makna biasa inilah yangmembuat teks sesuai dengan satu situasi khusus; (c) Makna baru yang diberikan teks yang tidak terkandung dalam makna etimologis dan makna biasa, yang mungkin biasa disebut sebagai semangat teks (maqaid lafadz). Makna inilah yang menjadi dasar pemikiran turunnya teks dan memberikan petunjuk baru bagi tindakan manusia serta dorongan bagi kemajuannya. Namun, makna baru ini tidak bersifat adikodrati, antirasional maupun misterius, melainkan justru alamiah, rasional dan jelas. (2) Analisa situasi historis (asbab al-nuzul). Hasan Hanafi membagi situasi sejarah ini dalam dua macam: (a) contoh situasi, yaitu situasi saat turunnya teks, (b) situasi saat, yaitu situasi tertentu yang menyebabkan turunnya teks. Pembedaan ini bertujuan untuk tetap memberikan ruang pada analisa sejarah pada teks-teks yang dianggap tidak mampunyai “asbab al-nuzul”. (3) Generalisasi makna-makna yang dihasilkan dengan situasi luar,  situasi kekinian yang di luar situasi saat maupun contoh situasi di mana teks tersebut pertama turun, sehingga teks tetap tampak segar, baru dan modern. Namun, generasalisasi tetap diawasi dalam batas-batas aturan linguistik, sehingga tidak akan terjadi generalisasi yang ektrim dan liar.(Achmad Khudori Soleh:2011)

E.  Aplikasi Penafsiran Hermeneutika Al Qur’an
a.    Penafsiran Hasan Hanafi tentang Konsep harta dalam al Qur;an
     Harta (mal) di dalam al Qur’an tidak bermakna uang dalam arti harfiahnya, tetapi dalam arti kekayaan atau kepemilikan secara umum. Berkaitan dengan bentuk linguistiknya, kata mal disebut dalam al Qur’an sebanyak 86 kali dalam bentuk yang berbeda-beda karena signifikansinya tidak kurang dari kata nabi sebanyak 80 kali atau kata wahyu sebanyak 78 kali.
Kata mal disebutkan alQur’an dalam dua bentuk kata benda; (1) dalam bentuk tidak disandarkan kepada kata ganti (ghoir mudlof ila dlomir) seperti al-mal, malan, al anwal dan amwalan sebanyak 32 kali. (2) berkaitan dengan kata sifat seperti maluhu, maliah, amwalukum danamwaluhum sebanyak 54 kali yang menunjukkan bahwa kekayaan dapat saja berada diluar kepemilikan pribadi. Kepimilikan adalah hubungan diantara manusia dan kekayaan.
Kata ini juga disebutkan dua kali dalam bentuk nominative dan 12 kali dalam accusative. Yang menunjukkan bahwa kekayaan lebih merupakan sebab yang menghasilkan. Dengan demikian, ia kemudian hanya menjadi penerima perbuatan manusia dan akibatnya. Kekayaan bukan sebagai subyek dan kata kerja. Dalam bentuk negatif nominative, kata al mal juga dihubungkan dengan kata sifat kepemilikan. Yaitu dengan orang pertama tunggal (7 kali), orang ketiga plural (47 kali), yang menunjukkan bahwa kekayaan merupakan kepemilikan kolektif atas nama kalangan yang tidak punya, kalangan yang haknya dirampas, orang miskin miskin dan anak yatim. Orang pertama tunggal tersebut diatas menunjukkan golongan atas, orang kedua merujuk pada golongan menengah, sedangkan golongan ketiga menunjukkan golongan bawah.
Kata mal merupakan sebuah fungsi, sebuah titipan, sebuah hubungan dan sebuah investasi.
Kekayaan tidak boleh dimonopoli atau ditimbun. Secara etimologi, mal bukan sebuah benda, tetapi kata ganti relatif. Kata mal berhubungan dengan kata sandang (li) yang memiliki arti apa yang ada pada saya. Mal disebut memakai isim nakiroh 17 kali dan isim ma’rifat 15 kali, yang berarti bahwa harta bisa diketahui dan bisa tidak diketahui.
Dalam bentuk dan kedudukan I’rob Mal dikonotasikan dengan 3 (tiga) makna: (1) celaan kepada manusia yang mengikat diri dengan harta, seperti; QS. Al-fajr 89:20, al-Humazah 104:2, al-Balad 90:6, Maryam 19:71, at-Taubah 9:69. Al-Kahfi 18:34, Saba 34:35.(2)  larangan mendekati, apabila mengambil harta orang lain yaitu kaum yang membutuhkan, anak anak yatim dan manusia umumnya (tidak termasuk didalamnya orang kaya) seperti dalam Qs. Al-An’am 6:34, an-Nisa’ 4:10 dan 161 dan QS. At-Taubah 9:34. (3) memberikan harta kepada pihak-pihak yang membutuhkan, atau jihad fisabilillah seperti dalam QS. Al-Baqarah 2:177, dan QS. Hud 11:29.
Mengenai isi kandungan kata mal, Hasan Hanafi membaginya dalam tiga orientasi makn berikut ini. (1) kekayaan, kepemilikan, dan pewarisan berlaku untuk Tuhan bukan manusia. (2) kekayaan dipercayakan kepada manusia sebagai titipan. Manusia memeliki hak untukmenggunakan bukan untuk menyalahgunakan, untuk berinvestasi bukan untuk menimbun, untuk memanfatkan bukan untuk diboroskan, untuk pembangunan dan pertahanan. (3) kemandirian moral dari kesadaran manusia vis a vis kekayaan membuat kekayaan menjadi alat yang sederhana untuk kesempurnaan manusia. Kekayaan adalah untuk manusia, bukan manusia untuk kekayaan. (http://muhajinugroho)

b.   Penafsiran Amina Wadud tentang Persaksian  dalam al Qur’an.
Pada masa yang penuh dengan kekangan sosial, finansial, dan pengalaman pun al Qur'an mengakui potensi sumber daya perempuan. Di era modern ini, Mengenai potensi perempuan dalam kesaksian Amina merujuk pada surat al-Baqarah ayat 282.

”...Persaksikanlah dengan dua orang saksi dari dua orang laki-laki di antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang (perempuan) lupa maka seorang lagi (perempuan) mengingatkannya...” .
Menurut susunan kata ayat ini, kedua perempuan tidak disebut saksi. Satu perempuan ditunjuk ”pengingat” bagi yang satunya lagi bertindak sebagi penguat. Meskipun ada dua, tiap-tiap perempuan berbeda fungsinya.
Amina menjelaskan bahwa ada beberapa pertimbangan kontekstual mengenai kebutuhan dibutukan dua saksi yaitu untuk menjaga supaya tidak ada kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja yang berkenaan dengan ketentuan perjanjian. Amina juga mengutip pernyataan Fazlur Rahman dalam hal ini.
”... Karena anggapan bobot kesaksian perempuan lebih rendah dari pada laki-laki tergantung pada daya ingat (perempuan) yang lebih lemah mengenai persoalan-persoalan finansial, maka ketika perempuan sudah menguasai persoalan-persoalan itu kesaksian mereka bisa setara dengan kesaksian laki-laki”.
Maka dari itu, ayat ini penting bagi keadaan tertentu yang bisa saja, dan telah menjadi usang. Penyaksian di hadapan dua saksi ”di antara orang-orang yang kamu sukai sebagai saksi” bertujuan untuk mencegah penyelewengan. Jika satu orang terbujuk untuk memberikan kesaksian palsu maka yang satunya lagi bertugas mengingatkan. Namun, pada masa itu para perempuan mudah ditekan jika para perempuan hanya seorang tapi berbeda ketika mereka terdiri dari dua orang, mereka akan saling mendukung untuk ketentuan perjanjian.
Pada masa yang penuh dengan kekangan sosial, finansial, dan pengalaman pun al-Qur'an mengakui potensi sumber daya perempuan. Di era modern ini,  pertimbangan tentang potensi perempuan harus tetap mendorong peningkatan kontribusi perempuan terhadap sistem sosial yang adil, bermoral, dan mengakhiri eksploitasi terhadap perempuan maupun terhadap yang lain dalam masyarakat.
Pemanggilan dua perempuan dan satu laki-laki untuk menjadi saksi perjanjian finansial bukanlah peraturan umum partisipasi perempuan, bahkan tidak untuk semua kesaksian. Penghadiran saksi untuk perkara lainnya hendaknya tidak didasarkan pada jenis kelamin tertentu. Jadi, siapa saja yang dianggap mampu menjadi saksi berhak menjadi saksi. (Amina Wadud:2003)

F.   Kesimpulan
Dengan memperhatikan asumsi dan implikasinya, hermeneutika pada umumnya  tidak sesuai untuk diterapkan dalam studi Al-Qur’an. Jika ia diterapkan untuk menafsirkan Al-Qur’an, maka akan membuahkan kebingungan dan keragu-raguan. Hal ini dikarenakan ia bertolak dari skeptisisme dan relativisme, menyamakan teks Al-Qur’an sebagaimana teks-teks biasa, menghendaki ketidakpastian makna dan penafsiran.
Dengan metode hermeneutika, di mana yang dianggap sebagai pesan utama adalah apa yang ada dibalik teks (signifikansi), maka konsekuensinya akan mendekonstruksi hukum-hukum Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan menjungkirbalikan struktur struktur epistemologi Islam.
Khazanah ulumul Qur’an dengan segala perangkat dan ilmu bantunya, hermeneutika harus diakui memiliki tingkat sofistikasi yang luar biasa. Betapa tidak, ia telah terbukti melahirkan berbagai macam khazanah tafsir. Hal ini menunjukan kekomprehensifan ulumul Qur’an dalam membantu para ulama tafsir untuk membedah luasnya samudra ilmu Allah yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Namun, karena barangkali sudah terlanjur gandrung dengan segala yang baru dan yang Barat (everything new and everything Western), maka sejumlah cendekiawan Muslim dengan  membuat wacana untuk menjadikan hermeneutika menjadi tafsir alternatif.

Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri, “The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi, (Walisongo, Volume 20, Nomor 1, Mei 2012)
Al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Mesir: Daar al-Ma’arif, 1997.
http://muhajinugroho.staff.iainsalatiga.ac.id/wp-content/uploads/sites/ 93/2013/09/ Hermeneutika-Hasan-Hanafi.pdf. Diakses tanggal 27 Maret 2015
Khudori Soleh, Achmad, Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir: (Tsaqafah Vol. 7, No. 1,  April 2011)
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Intepretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991
Mu’min Ma’mun, Ilmu Tafsir: dari ilmu tafsir konvensional sampai kontroversional (STAIN Kudus:2008)
Suharso, Drs dan Retnoningsih, Ana, Dra. “Kamus Bahasa Indonesia Lengkap” (Widya Karya Semarang: 2011)
syamsudin,Sahiron, dkk, Hermeneutika alquran mazhab yogya, yogyakarta, (Islamika:2003).
Wadud, Amina. Al-Qur’an dan Perempuan, dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal “Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global”. Jakarta: Paramadina, 2003.

Wahid, marzuki, Studi al Qur’an Kontemporer Perspektif Islam dan Barat, (CV Pustaka Setia Bandung: 2005)

Tidak ada komentar: