STUDI
AL-QUR’AN DAN HADITS DALAM PERSPEKTIF HUMANIORA SCIENCES
(PERSPEKTIF
HERMENEUTIKA)
Zainal Anwar,
S.Pd
Abstract
Islamic
studies , especially studies of the Qur'an and the Hadith is a very interesting
study , both for Muslims themselves or persons other than Islam , which they
have a different method to produce different conclusions . In studying the
Qur'an and hadith they elaborate on some of the other sciences , among others,
the humanities .
Hermeneutic as interpretation
knowledge can be classified into three
categories:
objective, subjective, and liberation. 1). Objective hermeneutic means an
effort to interpret and to understand the meaning of text as the author means.
2). Subjective hermeneutic means an effort to interpret and to understand the
meaning of text based on the social context at this time without any
consideration to the author thought. 3). Liberation hermeneutic means an effort
to interpret and to understand the meaning of text based on the spirit of
circumstance and try to make the result of interpretation as the spirit to
change the life and the circumstance of the interpreter and the reader.
Keywords :
Study of the Qur'an and Hadith , Humanities science perspective , Hermeneutics.
A. Pendahuluan
Al-Qur’an dan hadits memiliki hubungan yang demikian
kuat dalam beristimbat dalam hukum Islam, al Qur’an berada pada posisi pertama
dan hadits pada posisi kedua setelah al Qur’an. Karena itu, al Qur’an merupakan
sumber pokok dalam pembentukan hukum Islam dan sumber pertamanya. Maka apabila
al Qur’an menyebutkan nash terhadap suatu hukum, maka wajib diikuti, dan
apabila tidak menyebutkan nash mengenai hukum suatu kasus, maka kembali kepada
hadits (sunnah).(Ma’mun Mu’min:2008:16)
Berbagai
pemaknaan al-Qur’an dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari merupakan
peristiwa atau gejala sosial-budaya yang biasa mendapat perhatian dari para
ahli agama. Dengan perspektif ini fenomena yang kemudian menjadi objek kajian
bukan lagi al-Qur’an sebagai kitab tetapi perlakuan manusia terhadap al-Qur’an
dan bagaimana pola-pola perilaku yang dianggap berdasarkan atas pemahaman
tentang al-Qur’an itu diwujudkan. Objek kajian disini adalah bagaimana berbagai
pemaknaan terhadap al-Qur’an di atas hadir, dipraktekkan dan berlangsung dalam
kehidupan sehari-hari manusia ataukah hanya sebagai wacana belaka. Al-Qur’an
yang hidup di tengah kehidupan sehari-hari manusia, bisa berwujud dalam bentuk
yang beraneka-ragam, yang bagi sebagian pemeluk Islam mungkin malah telah
dianggap menyimpang dari ajaran-ajaran dasar dalam agama Islam itu
sendiri.(Heddy Shri Ahimsa-Putra: 2012:251)
B.
Islam sebagai Produk
Sejarah dan Budaya
Meskipun Islam merupakan wahyu yang
diturunkan Allah SWT kepada Muhammad s.a.w., namun dalam perkembangannya banyak
bagiannya yang merupakan produk sejarah. Sebagai contoh: Khulafa’
al-Rasyidun, teologi Syi’ah, Mu’tazilah,
Sunni, merupakan produk sejarah, karena nama ini muncul belakangan.
Seluruh bangunan sejarah Islam klasik, tengah, dan modern adalah produk
sejarah. Seandainya Islam tidak berhenti di Viena mungkin sejarah Islam di
Eropa akan lain. Begitu pula seandainya Islam terus di Spanyol, sejarahnya lain
lagi. Seandainya Islam tidak bergumul dengan budaya Jawa, sejarahnya di
Indonesia akan lain lagi.
Pendekatan kesejarahan dibutuhkan
dalam memahami Islam, karena Islam turun dalam situasi yang konkrit bahkan
berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Seperti dikatakan oleh
Kuntowijoyo bahwa isi kandungan al-Qur’an sendiri dapat dibagi menjadi dua: (1)
berisi konsep-konsep, dan (2) berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan
(Kuntowijoyo, 1991: 326-328).
Melalui pendekatan sejarah seseorang
diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu
peristiwa. Seseorang tidak akan memahami Islam keluar dari konteks historisnya,
karena akan menyesatkan orang yang memahaminya. Pendekatan ini sebenarnya sudah
ditemukan dalam keilmuan Islam misalnya dalam ulum al-Qur’an, bahwa
seseorang yang hendak mempelajari al-Qur’an secara benar, harus memepelajari
sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya
al-Qur’an yang disebut ilmu asbab al-nuzul. Dengan ilmu ini seseorang akan dapat
mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum
tertentu dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya
(al-Qaththan, 1997: 79).
Kajian alquran yang
kemudian dispesifikan istilahnya menjadi tafsir alquran telah menimbulkan
stagnasi epistimologis. Artinya kajian makna alquran dengan tafsir alquran
menjadi identik, terutama bagi kalangan awam, sehingga mengakibatkan orang
semakin menjauh, atau setidak-tidaknya enggan mengkaji makna alquran, lantaran
harus memiliki sejumlah pengetahuan atau ilmu yang tidak mudah dikuasai oleh
masyarakat luas, apalagi kalangan awam. (Khudori Soleh:2011)
C.
Analisa Bahasa Dalam
Memahami Makna Teks.
Dengan ‘arabi mubin (bahasa
arab yang jelas) yang muncul dari lidah Nabi yang secara luas dianggap sebagai
buta huruf, sebagian besar dasar estetis yang umum untuk keterbandingan al
Qur’an adalah bentuk sastra dan gaya al Qur’an. Al Qur’an tidak hanya yang
menegaskan secara berulang-ulang tentang kebahasa-arabannya (arabicity)
dalam pengertian linguistik, tetapi juga menyampaikan pesannya dalam istilah
yang akrab dengan orang arab. Demikian pula sebagian besar narasi al Qur’an
adalah dalam bentuk gaya kiasan dan mensyaratkan komunitas penerimanya sebagai
orang yang sebelumnya memiliki beberapa pengetahuan cerita atau alegori
(kiasan).(Marzuki Wahid:2005:141)
Secara empiris al qur’an
merupakan suatu naskah teks, sebagai kitab yang menggunakan sarana komunikasi
bahasa. Namun demikian hendaklah difahami bahwa al qur’an berbeda dengan teks
sastra lainnya. Perbedaan terletak pada
hakekat makna, fungsi bahasa yang has, universal, dan mengatasi ruang
dan waktu. Hakekat bahasa
sebagaimana yang dikembangkan para pemikir bahasa dan pemikir filsafat bahasa
merupakan suatu struktur dan makna. Struktur berkaitan dengan bentuk kata,
kaidah kata, susunan frasa, struktur kalimat, makna kalimat, struktur fonologi
dan pengucapannya. Hakekat khusus yaitu
sarana komunikasi antara Allah dengan makhluk, terutama manusia. Sedangkan
bahasa dalam pengertian umum hanya merupakan sarana komunikasi antara manusia
satu dengan yang lainnya.(Syamsuddin: 2003:70)
Bahasa
dalam al qur’an bukan hanya mengacu pada dunia melainkan mengatasi ruang dan
waktu sehingga bahasa alquran mengacu pada: (a) Dunia, yang meliputi dua
hal: (1) dunia human, yang meliputi dunia kemanusiaan. (2)
dunia infra human, yang berkaitan dengan dunia binatang, tumbuhan, dan
duniafisik lainnya dengan segala hukum dan sifat masing-masing. (b) Aspek
metafisik, yaitu suatu hakekat makna dibalik hal-hal yang bersifat fisik.
Aspek metafisik ini tidak terjangkau oleh indra manusia, sehingga hanya dapat
dipahami, dipikirkan, dan dihayati. (c) Adikodrati, yaitu suatu wilayah
dibalik dunia manusia yang hanya diinformasikan oleh tuhan melalui wahyu, misalnya
tentang surga, neraka kehidupan akhirat, tentang ruh, dari kiamat dan
sebagainya. (d) Ilahiyyah, yaitu aspek yang berkaitan dengan hakikat
Allah Swt, bahwa Allah itu al Asma’ al Husna, al Azis, al Hakim dan lain
sebagainya. (e) Mengatasi dimensi ruang dan waktu, hal ini dijelaskan
dalam al quran, misalnya yang berkaitan dengan sejarah para nabi dan rasul
Allah serta yang berkaitan dengan dimensi ruang misalnya dunia jin, alam kubur,
alam ruh, dan lain sebagainya.
Mengingat
hakekat bahasa dalam alquran yang mengacu pada dimensi sebagaimana tersebut
diatas, maka untuk memahami ayat-ayat alquran tidak mungkin hanya hanya
berdasar pada kaedah-kaedah linguistik semata. Sebagaimana lazimnya, dalam ilmu
tafsir diperlukan ilmu nahwu yang menjelaskan tentang perbedaan status kata
dalam kalimat, ilmu sharaf yang menjelaskan tentang bentuk kata, ilmu ma’ani
yang menjelaskan tentang kekhususan bentuk kalimat dari segi makna yang
ditunjukkannya, ilmu badi’ yang menjelaskan tentang keindahan kalimat, dan ilmu
qira’ah yang membahas tentang tata cara pengucapan ayat-ayat al quran serta
makhraj-makhrajnya. Semua ilmu tersebut lebih berkaitan dengan tingkat
linguistik (kebahasaan), adapun asbab an-nuzul-nya lebih berkaitan
dengan dimensi waktu. (Syamsuddin: 2003:71)
D. Hermeneutika Sebagai
Teori Penafsiran Teks
a.
Pengertian Hermeneutik
Hermeneutika berasal dari akar kata
Yunani hermeneuein berarti menafsirkan, sedang hermeneia sebagai
derivasinya berarti penafsiran. Kedua kata tersebut diasosiasikan mempunyai
kaitan dengan tokoh yang bernama Hermes atau Hermeios yang dalam mitologi
Yunani kuno dianggap sebagai utusan dewa Olympus yang bertugas menyampaikan dan
menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia. (Khudori
Soleh:2011)
Menurut Gerhard Ebeling, proses
penjelasan yang dilakukan Hermes mengandung tiga konsep dasar hermeneutika: (1)
Mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran ke dalam bentuk kata-kata (utterance,
speaking) sebagai bentuk penyampaian, (2) Menjelaskan secara rasional (interpretation,
explanation) sesuatu yang masih samar agar makna atau maksudnya dapat dipahami
dengan jelas, (3) Menerjemahkan (translating) suatu bahasa yang
asing ke dalam bahasa yang lebih dikuasai audiens. (Khudori Soleh:2011)
Akan tetapi, dalam literatur hermeneutika
modern, proses pengungkapan pikiran dengan kata-kata, penjelasan secara
rasional dan penterjemahan bahasa seperti itu, masih jauh dari pengertian
hermeneutika. Apa yang ditulis Ebeling justru lebih dekat dengan makna exegesis
(penafsiran). Di sinilah perbedaan antara hermeneutika dengan exegesis.
Exegesis lebih merupakan tindakan praktis menafsirkan teks atau komentar
aktual atas teks, sedang hermeneutika berkaitan dengan berbagai aturan, metode
dan teori yang membimbing seorang mufassir dalam melakukan exegese.
(Khudori Soleh:2011)
Karena itu, secara sederhana
hermeneutika biasanya diartikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan
teks-teks. Dalam definisi yang lebih jelas, hermeneutika diartikan sebagai
sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti oleh seorang mufassir dalam
memahami teks. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, hermeneutika ternyata tidak
hanya digunakan untuk memahami teks, khususnya teks suci keagamaan, melainkan
meluas untuk semua bentuk teks, baik sastra, karya seni maupun tradisi masyarakat.
(Khudori Soleh:2011)
b.
Bentuk
Hermeneutik
Hermeneutika, sebagai
sebuah teori dan metode penafsiran, setidaknya dapat diklasifikan dalam tiga
model.(Khudori Soleh:2011)
1.
Hermeneutika
objektif
Hermeneunetik
ini dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher
(1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968). Menurut
model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang
dimaksudkan pengarang, sebab menurut Schleiermacher, apa yang disebut teks adalah
ungkapan jiwa pengarangnya.
Menurut Schleiermacher,
setiap teks mempunyai dua sisi: (1) Sisi linguistik yang
menunjuk pada bahasa yang memungkinkan proses memahami menjadi mungkin. (2)
Sisi psikologis yang menunjuk pada isi pikiran si pengarang yang
termanifestasikan pada style bahasa yang digunakan.
Dua sisi
ini mencerminkan pengalaman pengarang yang pembaca kemudian mengkonstruksinya
dalam upaya memahami pikiran pengarang dan pengalamannya.
Selanjutnya,
untuk dapat memahami maksud pengarang sebagaimana yang tertera dalam
tulisan-tulisannya, karena style dan karakter bahasanya berbeda, maka
tidak ada jalan bagi penafsir kecuali harus keluar dari tradisinya sendiri
untuk kemudian masuk ke dalam tradisi di mana si penulis teks tersebut hidup,
atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman itu. Sedemikian,
sehingga dengan masuk pada tradisi pengarang, memahami dan menghayati budaya
yang melingkupinya, penafsir akan mendapatkan makna yang objektif sebagaimana
yang dimaksudkan si pengarang.
Mengikuti
metode hermenutika objektif di atas, dalam aplikasinya pada teks keagamaan,
misalnya dalam penafsiran atas teks-teks al-Qur‘an, maka yang harus dilakukan
adalah, (1) Kita berarti harus mempunyai kemampuan gramatika
bahasa Arab (nahwu-sharaf) yang memadai. (2) Memahami
tradisi yang berkembang di tempat dan masa turunnya ayat, sehingga dengan
demikian kita dapat benar-benar memahami apa yang dimaksud dan diharapkan oleh
teks-teks tersebut.
2.
Hermeneutika
subjektif
Hermeneutika
subjektif dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans-Georg Gadamer
(1900-2002) dan Jacques Derida (1930). Menurut model yang kedua ini,
hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis
seperti yang diasumsikan dalam model hermeneutika objektif melainkan memahami
apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Titik tekan model kedua ini adalah isi
teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis. Inilah
perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif.
Dalam
pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat
diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu sebuah teks dipublikasikan dan
dilepas, ia telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si
penulis. Karena itu, sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si
pengarang melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri.
Bahkan, penulis telah “mati” dalam pandangan kelompok ini. Karena itu
pula, pemahaman atas tradisi si pengarang seperti yang disebutkan dalam
hermeneutika objektif, tidak diperlukan lagi. Menurut Gadamer, seseorang tidak perlu
melepaskan diri dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk dalam tradisi si
penulis dalam upaya menafsirkan teks. Bahkan, hal itu adalah sesuatu yang tidak
mungkin, karena keluar dari tradisi sendiri berarti mematikan pikiran dan “kreativitas”.
Sebaliknya, seseorang justru harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki
saat ini (vorhabe), apa yang dilihat (vorsicht) dan apa yang akan
diperoleh kemudian (vorgriff). Jelasnya, sebuah teks diinterpretasikan
justru berdasarkan pengalaman dan tradisi yang ada pada si penafsir itu sendiri
dan bukan berdasarkan tradisi si pengarang, sehingga hermeneutika tidak lagi
sekedar mereproduksi ulang wacana yang telah diberikan pengarang
melainkan memproduksi wacana baru demi kebutuhan masa kini sesuai dengan
subjektifitas penafsir.
Meski
demikian, menurut Sumaryono, Gadamer sebenarnya tidak sepenuhnya menganggap
salah pertimbangan-pertimbangan atas tradisi sebelumnya seperti dalam
hermeneutika objektif, meski ia menganggap sebagai negatif atau rendah. Sebab,
memang ada beberapa pertimbangan yang dianggap berlaku, yang menentukan
realitas historis eksistensi seseorang, seperti bildung, misalnya. Namun,
realitas historis masa lalu tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang
terpisah dari masa kini melainkan satu kesatuan atau tepatnya sebuah
kesinambungan. Bagi Gadamer, jarak antara masa lalu dan masa kini tidak
terpisahkan oleh jurang yang menganga melainkan jarak yang penuh dengan
kesinambungan tradisi dan kebiasaan yang dengannya semua yang terjadi di masa
lalu menampakkan dirinya di masa kini. Inilah yang membentuk kesadaran kita akan
realitas historis. Dalam konteks keagamaan, teori hermeneutika subjektif ini
berarti akan merekomendasikan bahwa teks-teks al-Qur‘an harus ditafsirkan
sesuai dengan konteks dan kebutuhan kekinian, dan apa yang dimaksud sebagai asbab
al-nuzul adalah realitas historis saat ini.
3.
hermeneutika
pembebasan
hermeneutika
pembebasan ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim kontemporer seperti Hasan
Hanafi (l. 1935), Farid Esack (l. 1959) dan termasuk Nasr Hamid Abu Zaid.
Hermeneutika ini sebenarnya didasarkan atas pemikiran hermeneutika subjektif,
khususnya dari Gadamer. Namun, menurut para tokoh hermeneutika pembebasan ini,
hermeneutika mestinya tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode
pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi. Apa yang diinginkan dalam
model hermeneutika pembebasan adalah lebih dari sekedar pemahaman. Sebab, kenyataannya
hermeneutika sampai sejauh itu memang masih lebih banyak berkutat dalam lingkaran
wacana, belum pada aksi. Gadamer sendiri menyebut hermeneutika lebih
hanya merupakan permainan bahasa, karena segala yang bisa dipahami adalah
bahasa (being that can be understood is language). Hal yang sama juga
terjadi dalam tradisi pemikiran Islam yang masih lebih bersifat teosentris
dari pada antroposentris, lebih banyak bicara tentang alam metafisis
daripada daripada kenyataan empirik.
Hermeneutika
sebagai sebuah proses pemahaman hanya menduduki tahap kedua dari keseluruhan
proses hermeneutik, karena yang pertama adalah kritik historis untuk
menjamin keaslian teks dalam sejarah. Ini penting, karena tidak akan terjadi
pemahaman yang benar jika tidak ada kepastian bahwa yang dipahami tersebut
secara historis adalah asli. Pemahaman atas teks yang tidak asli akan menjerumuskan
orang pada kesalahan. Setelah diketahui keaslian teks suci tersebut dan tingkat
kepastiannya benar-benar asli, relatif asli atau tidak asli, baru
kemudian yang kedua dipahami secara benar sesuai dengan aturan
hermeneutika sebagai ilmu pemahaman, berkenaan terutama dengan bahasa dan
keadaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan teks. Dari sini kemudian melangkah
pada tahap ketiga, yakni menyadari makna yang dipahami tersebut dalam
kehidupan manusia, yaitu bagaimana makna-makna tersebut berguna untuk memecahkan
persoalan-persoalan kehidupan modern.
Untuk
menjamin keaslian sebuah teks suci, mengikuti prinsip-prinsip kritik sejarah,
Hanafi mematok aturan-aturan sebagai berikut; (1) Teks tersebut
tidak ditulis setelah melewati masa pengalihan secara lisan tetapi harus
ditulis pada saat pengucapannya, dan ditulis secara in verbatim (persis
sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali). Karena itu, narator harus
orang yang hidup pada zaman yang sama dengan saat dituliskannya
kejadian-kejadian tersebut dalam teks. (2) Adanya
keutuhan teks. Semua yang di sampaikan oleh narator atau nabi harus disimpan
dalam bentuk tulisan, tanpa ada yang kurang atau berlebih. (3) Nabi
atau malaikat yang menyampaikan teks harus bersikap netral, hanya sekedar
sebagai alat komunikasi murni dari Tuhan secara in verbatim kepada
manusia, tanpa campur tangan sedikitpun dari fihaknya, baik menyangkut bahasa
maupun isi gagasan yang ada di dalamnya. Istilah-istilah dan arti yang ada di dalamnya
bersifat ketuhanan yang sinomin dengan bahasa manusia. Teks akan in verbatim
jika tidak melewati masa pengalihan lisan, dan jika nabi hanya sekedar
merupakan alat komunikasi. Jika tidak, teks tidak lagi in verbatim,
karena banyak kata yang hilang dan berubah, meski makna dan maksudnya tetap
dipertahankan. Jika sebuah teks memenuhi persyaratan sebagaimana di atas, ia
dinilai sebagai teks asli dan sempurna.
Dengan kaca
mata ini, Hanafi menilai bahwa hanya al-Qur‘an yang bisa diyakini sebagai teks
asli dan sempurna, karena tidak ada teks suci lain yang ditulis secara inverbatim
dan utuh seperti al-Qur‘an.
Proses
pemahaman terhadap teks. Sebagaimana yang terjadi pada tahap kritik sejarah,
dalam pandangan Hanafi, pamahaman terhadap teks bukan monopoli atau wewenang
suatu lembaga atau agama, bukan wewenang dewan pakar, dewan gereja, atau
lembaga-lembaga tertentu, melainkan dilakukan atas aturan-aturan tata bahasa
dan situasi-situasi kesejarahan yang menyebabkan munculnya teks.
Hasan
Hanafi memberikan operasionalisasi tahap kedua dalam memahami teks sebagai
berikut; (1) Analisa linguistik, meski diakui bahwa
analisa bahasa bukan merupakan analisa yang baik, tetapi ia merupakan alat
sederhana yang akan membawa penafsir pada pemahaman terhadap makna teks yang
sesungguhnya. Karena itu, disini teks harus dilihat dalam bahasa aslinya, bukan
terjemahan. Ini penting karena setiap kata atau bahasa mempunyai makna yang
berbeda, dan setiap kata setidaknya memiliki tiga jenis makna: (a) Makna etimologis,
yang menunjukkan timbulnya makna kata itu di dunia. Makna ini memberikan
jaminan pada teks sebagai suatu kenyataan dan mencegah timbulnya
penafsiran-penafsiran yang bersifat metafisik, mistis, teoritis dan formal; (b)
Makna biasa yang mengikat teks pada penggunaan kata dalam satu
masyarakat, dalam satu ruang dan waktu. Makna biasa inilah yangmembuat teks
sesuai dengan satu situasi khusus; (c) Makna baru yang diberikan teks
yang tidak terkandung dalam makna etimologis dan makna biasa, yang mungkin
biasa disebut sebagai semangat teks (maqaid lafadz). Makna inilah yang
menjadi dasar pemikiran turunnya teks dan memberikan petunjuk baru bagi tindakan
manusia serta dorongan bagi kemajuannya. Namun, makna baru ini tidak bersifat
adikodrati, antirasional maupun misterius, melainkan justru alamiah, rasional
dan jelas. (2) Analisa situasi historis (asbab
al-nuzul). Hasan Hanafi membagi situasi sejarah ini dalam dua macam: (a)
contoh situasi, yaitu situasi saat turunnya teks, (b) situasi saat, yaitu
situasi tertentu yang menyebabkan turunnya teks. Pembedaan ini bertujuan untuk
tetap memberikan ruang pada analisa sejarah pada teks-teks yang dianggap tidak
mampunyai “asbab al-nuzul”. (3) Generalisasi
makna-makna yang dihasilkan dengan situasi luar, situasi kekinian yang di luar situasi saat
maupun contoh situasi di mana teks tersebut pertama turun, sehingga teks tetap
tampak segar, baru dan modern. Namun, generasalisasi tetap diawasi dalam
batas-batas aturan linguistik, sehingga tidak akan terjadi generalisasi yang
ektrim dan liar.(Achmad Khudori Soleh:2011)
E. Aplikasi Penafsiran Hermeneutika Al Qur’an
a.
Penafsiran
Hasan Hanafi tentang Konsep harta dalam al Qur;an
Harta (mal) di dalam al Qur’an tidak
bermakna uang dalam arti harfiahnya, tetapi dalam arti kekayaan atau kepemilikan
secara umum. Berkaitan dengan bentuk linguistiknya, kata mal disebut dalam al
Qur’an sebanyak 86 kali dalam bentuk yang berbeda-beda karena signifikansinya
tidak kurang dari kata nabi sebanyak 80 kali atau kata wahyu sebanyak 78 kali.
Kata mal disebutkan alQur’an dalam
dua bentuk kata benda; (1) dalam bentuk tidak disandarkan kepada kata ganti (ghoir
mudlof ila dlomir) seperti al-mal, malan, al anwal dan amwalan sebanyak 32
kali. (2) berkaitan dengan kata sifat seperti maluhu, maliah, amwalukum
danamwaluhum sebanyak 54 kali yang menunjukkan bahwa kekayaan dapat saja berada
diluar kepemilikan pribadi. Kepimilikan adalah hubungan diantara manusia dan
kekayaan.
Kata ini juga disebutkan dua kali
dalam bentuk nominative dan 12 kali dalam accusative. Yang menunjukkan bahwa
kekayaan lebih merupakan sebab yang menghasilkan. Dengan demikian, ia kemudian
hanya menjadi penerima perbuatan manusia dan akibatnya. Kekayaan bukan sebagai
subyek dan kata kerja. Dalam bentuk negatif nominative, kata al mal juga
dihubungkan dengan kata sifat kepemilikan. Yaitu dengan orang pertama tunggal
(7 kali), orang ketiga plural (47 kali), yang menunjukkan bahwa kekayaan
merupakan kepemilikan kolektif atas nama kalangan yang tidak punya, kalangan
yang haknya dirampas, orang miskin miskin dan anak yatim. Orang pertama tunggal
tersebut diatas menunjukkan golongan atas, orang kedua merujuk pada golongan
menengah, sedangkan golongan ketiga menunjukkan golongan bawah.
Kata mal merupakan
sebuah fungsi, sebuah titipan, sebuah hubungan dan sebuah investasi.
Kekayaan tidak boleh dimonopoli atau ditimbun. Secara etimologi,
mal bukan sebuah benda, tetapi kata ganti relatif. Kata mal berhubungan
dengan kata sandang (li) yang memiliki arti apa yang ada pada saya. Mal disebut memakai isim
nakiroh 17 kali dan isim ma’rifat 15 kali, yang berarti bahwa harta
bisa diketahui dan bisa tidak diketahui.
Dalam bentuk dan kedudukan I’rob Mal dikonotasikan
dengan 3 (tiga) makna: (1) celaan kepada manusia yang mengikat diri dengan harta,
seperti; QS. Al-fajr 89:20, al-Humazah 104:2, al-Balad 90:6, Maryam 19:71,
at-Taubah 9:69. Al-Kahfi 18:34, Saba 34:35.(2) larangan mendekati, apabila mengambil harta
orang lain yaitu kaum yang membutuhkan, anak anak yatim dan manusia umumnya
(tidak termasuk didalamnya orang kaya) seperti dalam Qs. Al-An’am 6:34,
an-Nisa’ 4:10 dan 161 dan QS. At-Taubah 9:34. (3) memberikan harta kepada
pihak-pihak yang membutuhkan, atau jihad fisabilillah seperti dalam QS.
Al-Baqarah 2:177, dan QS. Hud 11:29.
Mengenai isi kandungan kata mal, Hasan Hanafi
membaginya dalam tiga orientasi makn berikut ini. (1) kekayaan, kepemilikan,
dan pewarisan berlaku untuk Tuhan bukan manusia. (2) kekayaan dipercayakan
kepada manusia sebagai titipan. Manusia memeliki hak untukmenggunakan bukan
untuk menyalahgunakan, untuk berinvestasi bukan untuk menimbun, untuk
memanfatkan bukan untuk diboroskan, untuk pembangunan dan pertahanan. (3)
kemandirian moral dari kesadaran manusia vis a vis kekayaan membuat kekayaan
menjadi alat yang sederhana untuk kesempurnaan manusia. Kekayaan adalah untuk
manusia, bukan manusia untuk kekayaan. (http://muhajinugroho)
b.
Penafsiran
Amina Wadud tentang Persaksian dalam al
Qur’an.
Pada masa
yang penuh dengan kekangan sosial, finansial, dan pengalaman pun al Qur'an
mengakui potensi sumber daya perempuan. Di era modern ini, Mengenai potensi
perempuan dalam kesaksian Amina merujuk pada surat al-Baqarah ayat 282.
”...Persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari dua orang laki-laki di antaramu. Jika tidak ada dua
orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang (perempuan) lupa maka seorang
lagi (perempuan) mengingatkannya...” .
Menurut
susunan kata ayat ini, kedua perempuan tidak disebut saksi. Satu perempuan
ditunjuk ”pengingat” bagi yang satunya lagi bertindak sebagi penguat. Meskipun
ada dua, tiap-tiap perempuan berbeda fungsinya.
Amina
menjelaskan bahwa ada beberapa pertimbangan kontekstual mengenai kebutuhan
dibutukan dua saksi yaitu untuk menjaga supaya tidak ada kesalahan yang
disengaja maupun yang tidak disengaja yang berkenaan dengan ketentuan
perjanjian. Amina juga mengutip pernyataan Fazlur Rahman dalam hal ini.
”... Karena
anggapan bobot kesaksian perempuan lebih rendah dari pada laki-laki tergantung
pada daya ingat (perempuan) yang lebih lemah mengenai persoalan-persoalan
finansial, maka ketika perempuan sudah menguasai persoalan-persoalan itu
kesaksian mereka bisa setara dengan kesaksian laki-laki”.
Maka dari
itu, ayat ini penting bagi keadaan tertentu yang bisa saja, dan telah menjadi
usang. Penyaksian di hadapan dua saksi ”di antara orang-orang yang kamu sukai
sebagai saksi” bertujuan untuk mencegah penyelewengan. Jika satu orang terbujuk
untuk memberikan kesaksian palsu maka yang satunya lagi bertugas mengingatkan.
Namun, pada masa itu para perempuan mudah ditekan jika para perempuan hanya
seorang tapi berbeda ketika mereka terdiri dari dua orang, mereka akan saling
mendukung untuk ketentuan perjanjian.
Pada masa
yang penuh dengan kekangan sosial, finansial, dan pengalaman pun al-Qur'an
mengakui potensi sumber daya perempuan. Di era modern ini, pertimbangan tentang potensi perempuan harus
tetap mendorong peningkatan kontribusi perempuan terhadap sistem sosial yang
adil, bermoral, dan mengakhiri eksploitasi terhadap perempuan maupun terhadap
yang lain dalam masyarakat.
Pemanggilan
dua perempuan dan satu laki-laki untuk menjadi saksi perjanjian finansial
bukanlah peraturan umum partisipasi perempuan, bahkan tidak untuk semua
kesaksian. Penghadiran saksi untuk perkara lainnya hendaknya tidak didasarkan
pada jenis kelamin tertentu. Jadi, siapa saja yang dianggap mampu menjadi saksi
berhak menjadi saksi. (Amina
Wadud:2003)
F.
Kesimpulan
Dengan memperhatikan asumsi dan implikasinya, hermeneutika pada umumnya tidak sesuai untuk diterapkan dalam studi
Al-Qur’an. Jika ia diterapkan untuk menafsirkan Al-Qur’an, maka akan membuahkan
kebingungan dan keragu-raguan. Hal ini dikarenakan ia bertolak dari skeptisisme
dan relativisme, menyamakan teks Al-Qur’an sebagaimana teks-teks biasa,
menghendaki ketidakpastian makna dan penafsiran.
Dengan metode hermeneutika, di mana yang dianggap sebagai pesan utama
adalah apa yang ada dibalik teks (signifikansi), maka konsekuensinya akan
mendekonstruksi hukum-hukum Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan
menjungkirbalikan struktur struktur epistemologi Islam.
Khazanah ulumul Qur’an dengan segala perangkat dan
ilmu bantunya, hermeneutika harus diakui memiliki tingkat sofistikasi yang luar
biasa. Betapa tidak, ia telah terbukti melahirkan berbagai macam khazanah
tafsir. Hal ini menunjukan kekomprehensifan ulumul Qur’an dalam membantu para
ulama tafsir untuk membedah luasnya samudra ilmu Allah yang terkandung di dalam
Al-Qur’an.
Namun, karena barangkali sudah terlanjur gandrung
dengan segala yang baru dan yang Barat (everything new and everything
Western), maka sejumlah cendekiawan Muslim dengan membuat wacana
untuk menjadikan hermeneutika menjadi tafsir alternatif.
Daftar
Pustaka
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri, “The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi,
(Walisongo, Volume 20, Nomor 1, Mei 2012)
Al-Qaththan,
Manna’, Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Mesir: Daar al-Ma’arif, 1997.
http://muhajinugroho.staff.iainsalatiga.ac.id/wp-content/uploads/sites/
93/2013/09/
Hermeneutika-Hasan-Hanafi.pdf. Diakses tanggal 27 Maret 2015
Khudori
Soleh, Achmad, Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir: (Tsaqafah
Vol. 7, No. 1, April 2011)
Kuntowijoyo,
Paradigma Islam Intepretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991
Mu’min
Ma’mun, Ilmu Tafsir: dari ilmu tafsir konvensional sampai kontroversional (STAIN
Kudus:2008)
Suharso, Drs dan Retnoningsih,
Ana, Dra. “Kamus Bahasa Indonesia Lengkap” (Widya Karya Semarang: 2011)
syamsudin,Sahiron,
dkk, Hermeneutika alquran mazhab yogya, yogyakarta, (Islamika:2003).
Wadud,
Amina. Al-Qur’an dan Perempuan, dalam Charles Kurzman (ed), Wacana
Islam Liberal “Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global”.
Jakarta: Paramadina, 2003.
Wahid, marzuki,
Studi al Qur’an Kontemporer Perspektif Islam dan Barat, (CV Pustaka
Setia Bandung: 2005)